Friday, December 7, 2007

FLASHBACK



Maret 2001 embrio Orca muncul saat menyelenggarakan launching novel Dewi Lestari Supernova di Yogyakarta. Dalam program ini serangkaian sesi diskusi digelar di kampus Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW), Universitas Negeri Yogyakarta (UNY), hall Syantikara, dan Pusat Penelitian Kebudayaan & Perubahan Sosial (PPKPS) UGM. Selain Dewi sendiri program ini menghadirkan Joko Pinurbo, Whani Darmawan, Adi Wicaksono, Faruk H.T., Suminto A. Sayuti, Mahatmanto, Agus Noor, Kris Budiman, Budi Susanto SJ, dan presenter SCTV Indiarto Priadi. Puncaknya, Dewi tampil bersama Landung Simatupang, videografer Harisinthu, dan komposer Yudi HP. di auditorium Lembaga Indonesia – Perancis (LIP), membawakan beberapa fragmen dalam novel perdananya itu ke sebuah repertoar.

Tahun 2002 – 2003 Orca secara berkala menyelenggarakan program FILM REVIEW dan CINEMA WEEKEND, bekerja-sama dengan Lembaga Indonesia – Perancis (LIP) Yogyakarta. Beberapa sineas serta pengamat film yang hadir dalam program ini di antaranya Tintin Wulia, Aryo Danusiri, Ria Ernunsari, konsultan media Priambudhi, pengamat film Asia-Timur Aliyono, reporter Liputan 6 SCTV Rike Amru, Lexie Jr. Rambadeta, Fajar Nugross, dan animator Bayu Kasatmata.


Monday, August 6, 2007

MAN FOR OTHERS : Kado Perkawinan Putri Pak Dukuh

Oleh Suryo Wibowo


Riset dan observasi di wilayah Pantai Grigak kali ini berbeda dengan aktivitas kami di sini sebelumnya. Pak Kirno, dukuh Dusun Karang yang merupakan pemukiman terdekat dari Grigak, akan menikahkan Yatini putri bungsunya. Ijab akan berlangsung siang esok dan malamnya digelar pementasan wayang kulit semalam suntuk. “Lakonnya saya tidak tahu dan baru tahu setelah wayang dimulai,” kata Pak Dukuh di sela hiruk-pikuknya mempersiapkan segala hal dan menemani para tamu. Sehari sebelum pesta pernikahan, nunut Theresia Koeswardini dan Adrianus Suryadi SJ, aku datang membawa still camera yang lebih mutakhir dan rekan Ade Gunawan dengan kamera dari rental, serta backpack yang lebih gendut dari biasanya karena memang akan menginap beberapa malam.

Sejumlah lelaki bersama-sama mendirikan tenda terpal, menaungi pelataran semen. Asap mengepul dari pintu dapur. Kursi-kursi kaleng ditata sedemikian rupa di dalam, tapi menyisakan separoh ruangan untuk menggelar tikar sebagai tempat makan siang bersama nanti. Di samping pelataran yang ditinggikan dibangun sebuah panggung dari kayu dan bambu. Dipaku pada titik-titik yang tepat dan disatukan oleh ikatan tali kulit bambu, panggung berdiri kokoh. Seperangkat gamelan ditempatkan di atasnya.

Beberapa lelaki duduk di sekitar meja kayu yang menghitam karena minyak dan kain lap yang entah sudah berapa kali diusapkan. Di meja terdapat sebuah kotak kecil berisi guntingan kertas buram, beberapa alat tulis, dan sewadah lem kertas. Di belakang mereka beberapa bakul dari anyaman bambu yang diikat dengan selendang warna-warni diletakkan di sebuah dipan. Seorang ibu berkaos kuning, mengenakan rok lusuh dan ikat kepala dari berenda yang sama kumalnya dengan rok merahnya mendekat. Ia membawa sebuah bakul di punggungnya, dikaitkan selendang merah keunguan bermotif batik.

Wanita itu dan para lelaki muda di sekitar meja saling bertegur-sapa. Dilepaskannya bakul dari ikatan selendang, diletakkannya di meja. Salah seorang lelaki mengambil secarik kertas, menuliskan nama wanita itu, dusun tempat tinggalnya, kemudian menandai kertas dengan dua buah lingkaran serta sederet huruf setelah membuka dan melihat isi bakul yang dibawa sang tamu. Guntingan kertas itu diolesinya dengan lem, ditempelkan di tepian atas bakul. Setelah proses itu selesai si wanita segera berjalan meniti ponton yang terbuat dari ranting kayu jati, sengon, serta bambu, dan disusun menanjak ke arah pintu dapur di sisi kiri rumah Pak Dukuh.

Dapur gelap dan penuh asap. Sampah plastik bercampur ceceran kulit bawang merah dan bawang putih teronggok di lantai tanah. Sebuah tungku kayu dan dua buah panci terlihat di sudut. Wanita tadi menghampiri seorang pria yang duduk di pojok dapur menghadap sebuah ember dan keranjang anyaman bambu berukuran besar, berisi beras. Bakul si wanita dibuka, sebuah botol kaca dengan lilitan kawat di dekat ujungnya dikeluarkan. Minyak goreng.

Seorang lelaki lain segera menuangkan isi botol ke jirigen besar berwarna biru di belakangnya. Sementara si pria yang duduk di depan keranjang besar mengeluarkan puluhan tempe dalam bungkus daun jati, beberapa kemasan mie telur, menuangkan beras ke ember takaran, kemudian menumpahkannya ke keranjang besar itu. Saat si pria penunggu keranjang melakukan pencatatan di sebuah buku tulis tipis wanita berstelan kuning-merah itu tersenyum padaku. Tak lama kemudian ia beranjak, bergabung dengan tetangga lain di luar sana, tanpa membawa bakulnya yang telah kosong.

Asumsiku, begini rupanya wujud sumbangan perkawinan di sini. Ah bukan sumbangan, tapi kado. Seseorang yang telah sepuh yang berada di dekatku membenarkan asumsi ini. Akar solidaritas masih terikat erat di wilayah Karang. Saat warga mempunyai hajatan seperti kelahiran seorang anak, sunatan, perkawinan, dan kematian, tetangga dekat maupun jauh akan datang, membawa berbagai bahan makanan yang akan digunakan bersama.


Kegiatan memasak dan mempersiapkan segala hidangan tidak tertampung di dapur Pak Dukuh yang luas. Di sisi kiri gang menuju rumah Pak Dukuh sejak pagi terlihat para wanita mengolah daging. Para lelaki yang telah berpeluh memindahkan perabot rumah sampai membangun panggung sempat menghilang, menengok ladang dan ternaknya, tapi kemudian muncul kembali, beberapa di antaranya dengan amplop di tangan.

Di dapur bakul berselendang yang telah kosong diisi nasi yang sudah ditanak, penuhnya sesuai “kado” yang tadi diberikan. Mie goreng dihias tempe yang digoreng agak terlalu gosong disertakan sebagai sayur dan lauk, dimeriahkan sekantong plastik krupuk merah-putih.

Tidak seperti pesta perkawinan yang selama ini aku hadiri aku tidak melihat bayangan perhitungan “balik modal” di balik pernikahan ini. Tidak terlihat pula tamu yang membicarakan hal-hal basi dan tertawa-tawa fals sembari mencicipi aneka hidangan, sesudah itu menguap entah ke mana. Itu sebabnya Pantai Grigak sepi dari pemancing hari ini – dan untuk dua-tiga hari selanjutnya.

Selamat menempuh hidup baru!

Photos by Suryo Wibowo

Sunday, July 8, 2007

MAN FOR OTHERS : Semangat dari Surat Terakhir

oleh Ambara Muji Prakosa

“Peninggalannya yang paling berharga bagi kami,
warga Kedungombo, adalah semangat untuk tetap berjuang.” -
Trimo, Kedungombo 2007

TAHUN 1985 - 1986 pengukuran tanah untuk pembangunan waduk dimulai. Ratusan dusun sekitar Sungai Serang tidak tahu apa yang terjadi dan akan terjadi di wilayahnya. Tanpa informasi memadai, tanpa musyawarah, tiba-tiba mereka diusir dari tanahnya sendiri. Ini bukan cerita masa lalu. Hingga tahun 2007 ini enambelas dusun masih memperjuangkan haknya. Seiring bergulirnya waktu pemerintah negeri ini sudah berganti, generasi berganti, tapi masalah di Kedungombo tidak beranjak: rakyat terinjak kaki penguasa.

Penguasa Orde Baru melalui aparat-aparatnya yang sangat patuh tidak mensosialisasikan apalagi mengajak rembugan warga mengenai rencana pembangunan waduk. Megaproyek ini punya konsekuensi yang sama besarnya – warga harus meninggalkan tanah mereka. Tidak ada pilihan, mereka hanya bisa mengikuti kehendak yang kuasa. Ada uang ganti rugi atas lahan mereka, besarnya Rp 250,-/m2. Dengan uang sekecil itu mustahil membeli tanah dengan luas dan kualitas yang sama. Apalagi untuk membangun rumah dan mengolah lahan.

Tentu mereka tidak bisa menerima keputusan sepihak macam itu. Tapi penguasa cuma punya dua opsi: warga segera pergi dari area yang akan digenangi aliran sungai atau meladeni kekecewaan mereka dengan kekerasan. Lantas dimulailah episode-episode muram itu: teror, intimidasi, dan kekerasan fisik.

Mbah Jenggot, tetua Dusun Kedungpring, mendeskripsikan keadaan kala itu sebagai “perang tenan”. Tentara disebar di tiap jengkal tanah, semuanya menenteng bedil. “Di mana-mana didirikan pos tentara,” lanjut Trimo dari Dusun Mlangi. Tulus, warga Klewor, sulit masuk ke dusunnya sendiri karena tentara menempatkan pos jaga di pintu masuk. Setiap prajurit bersenapan.

Pemerintah membujuk warga untuk pindah dengan rayuan maupun paksaan. Warga yang buta huruf disuruh cap jempol dengan alasan untuk pembuatan KTP. Tapi ada yang sampai cedera tangan kirinya atau patah tulang ibujari. “Ono bocah di’kon cap jempol! Kan ndak masuk akal kuwi Mas!” Trimo tidak bisa melupakan kejadian-kejadian sepanjang tahun 1985 hingga 1994.

Kaum laki-laki yang melawan digencet secara represif. Mereka bersembunyi di hutan. Di rumah hanya ada para perempuan dan anak-anak. “Waktu itu saya masih kecil tapi sangat ingat hidup simbah, bapak dan ibu saya ngrekoso sekali,” ucap Rofi, pemuda Dusun Mlangi.

Bendungan selesai dibangun di wilayah pedesaan yang letaknya di lembah yang dikelilingi perbukitan, menyerupai bentuk mangkuk. Aliran Sungai Serang mulai diarahkan mengalirinya. Warga berangsur mengungsi ke rumah famili di luar Kedungombo, sebagian memilih transmigrasi gratis dari pemerintah, sebagian lagi bertahan. Derasan air dan intimidasi yang tidak kendor menjadikan keadaan makin kisruh, tidak semua harta-benda sempat diselamatkan. Pohon dan tanaman-tanaman bernilai ekonomis dibiarkan tergerus. Dusun Sarean lenyap sama sekali, secara geografis maupun demografis, tenggelam di dasar waduk. Seluruh penduduknya ditransmigrasikan ke Sumatera.

Air dengan cepat merendam Dusun Kedungpring yang posisinya persis di bawah bukit. Kedalamannya mencapai limapuluh meter. Rumah dan benda-benda di dalam dan sekitarnya ikut mengisi lambung waduk. Sementara warga Mlangi masih memiliki waktu untuk berbenah sebelum mengungsi karena letak dusun di dataran landai, tapi ketinggian air di sana lebih sulit diprediksi.

Mereka yang masih bertahan berlarian ke daerah yang lebih tinggi saat batas permukaan air makin tinggi. “Rumah yang belum dibanjiri air digotong ramai-ramai,” tutur Trimo. Saat air meninggi mereka lari lagi mencapai daratan yang lebih tinggi, terus begitu. “Sampai empat atau lima kali rumah kami pindah posisi. Tapi kalau terlambat ya dibiarkan.” Trimo mengatakan masyarakat tidak tahu batas tertinggi genangan air karena pemerintah tidak memberitahukannya. Dusun mereka tidak punah tapi letak wilayahnya bergeser ke atas.


Pakde dari Jogja
Dari tempatnya berbaring di sebuah rumah sakit di Semarang Romo Mangun sudah mengetahui apa yang terjadi di kawasan Kedungombo. Disampaikannya pandangan dan dukungannya pada warga melalui tulisan-tulisan di media massa. Ia belum pernah berada di Kedungombo tapi kepekaan dan empatinya menembus batasan ruang dan jarak. Akhirnya sejumlah anak muda yang concern terhadap masalah Kedungombo mengunjunginya. “Kami, anak-anak muda, merasa perlu orang kuat untuk mendukung atau malah menjadi motor perjuangan. Kami datangai Romo Mangun,” kenang Sita Darmayanti yang hingga saat ini masih mendampingi warga sekitar waduk. “Beliau sangat bersemangat.”

Hanya berselang dua hari sejak kunjungan Sita dan rekan-rekannya Romo Mangun dinyatakan sehat oleh dokter. “Mungkin semangat untuk membela kaum lemah yang menyembuhkan penyakitnya,” kata Sita.

Warga pernah mendengar nama Romo Mangun melalui radio. Sebagian mengenalnya dari berita-berita mengenai perjuangannya di bantaran Sungai Code. Selama ini banyak pihak memperlihatkan keberpihakan dan kepedulian pada warga Kedungombo tapi determinasi penguasa mematahkannya. Intensitas kabar angin Romo akan berada di tengah mereka menerbitkan cahaya penuh pengharapan di relung-relung batin.

Lepas dari rumah sakit Romo Mangun meluncur ke Dusun Kedungpring. “Orang asing tidak diijinkan masuk. Semua diperiksa di pos tentara. Jika tidak bisa berbohong jangan harap bisa masuk,” ujar Darsono. Romo Mangun ditemani seorang anak muda bernama Endro berusaha menerobos barikade. Endro menjadi penjual cangkul dan arit, Romo menyamar sebagai pakde salah seorang warga yang datang dari Jogja. Keduanya lolos.

Warga Kedungpring saat itu sudah mengungsi di sabuk hijau tanah Perhutani yang tingkat kemiringan tanahnya 40 derajat. Mereka membuat rumah seadanya seluas empat kali delapan meter, menggunakan bambu. Tingginya sekitar dua setengah meter, beratap alang-alang kering. Rumah ini dibagi menjadi dua bagian: untuk menusia dan kandang ternak seperti sapi, kambing, dan ayam.

Warga cukup rajin “mengunjungi” rumah lama mereka untuk memunguti benda-benda yang masih layak digunakan. Dengan cara menyelam. Itu sebabnya mereka mengganti atap alang-alang dengan genting dari rumah lama. “Supaya tidak kehujanan,” kata Mbah Citro, sesepuh Kedungpring yang mulai terlihat renta.

Romo Mangun meminta ijin Mbah Jenggot untuk membangun gubuk. Beberapa hari kemudian Romo mendiami gubuk bambu beratap terpal dan memulai gerakannya dengan mengalokasikan buku-buku bagi anak-anak. Anak-anak ini sudah tidak memiliki sekolah. Perhatian dari orangtua tidak lagi sempurna karena mereka disibukkan perkara ganti rugi dan kehidupan sehari-hari yang makin kompleks. Para laki-laki melanjutkan perjuangan mengupayakan hak mereka, kaum perempuan jatuh-bangun mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.

Bersama para relawan muda Mangun mendirikan sekolah darurat di Kedungpring dan Mlangi. Mereka juga mengelola perpustakaan keliling yang lebih pas disebut “perpustakaan air”. Perpustakaan keliling tanpa roda tapi hilir-mudik dari satu dusun ke dusun lain dengan mengarungi permukaan waduk. Prinsip Mangun, anak-anak tidak boleh jadi bodoh, harus tetap belajar.

Para relawan mahasiswa, frater, suster, bruder dari Jogja, Surakarta, dan Salatiga menjadi guru mereka. Tapi anak-anak belajar dalam keadaan lapar dan rentan penyakit. Mangun segera mendatangkan bantuan makanan, obat-obatan, pakaian, dan seng untuk penutup rumah. Sekolah darurat ini berlangsung selama dua tahun sampai anak-anak diterima di sekolah terdekat.

Sepak-terjang Romo Mangun jelas menjadi pekerjaan ekstra aparat. Celah memasuki Kedungombo dipersempit, penjagaan diperketat, intimidasi dan teror digencarkan. Perjalanan darat makin sulit dan berbahaya. Petugas menangkap Romo Suyatno Hadiatmojo yang mendampingi Romo Mangun sejak awal dan menginterogasinya di koramil. Romo Mangun sendiri tak jarang berhadapan dengan moncong senapan.

Mangun menggunakan perahu drum tanpa dinding untuk menyusup ke wilayah Kedungombo dan mendistribusikan bantuan dari dusun ke dusun. Proses perakitan dilakukan di air karena kegiatan di darat beresiko diintai dan ditangkal aparat. Perahu drum dan perpustakaan keliling bergerak di tujuhbelas dusun: Kedungpring, Karang, Tremes, Klewor, Mlangi, Dondong, Pelembinatur, Plosorejo, Wonoharjo, Bulu, Ngeboran, Tawangsari, Sambirejo, Sarimulyo, Guyuban, Genengsari, dan Grinjingan. Aktivitas tidur, memasak, dan mandi bahkan dilakukan di perahu drum.

Pada awalnya setiap dusun berjuang sendiri, memperjuangkan kepentingan masing-masing, dan tidak saling mengenal satu sama lain. “Dulu saya tidak kenal orang Kedungpring tapi setelah Romo datang dan membantu, saya jadi kenal Pak Darsono dan teman-temannya,” kata Trimo. Secara tidak langsung Romo Mangun telah menyatukan ketujuhbelas dusun itu.

“Banyak sekali bantuan yang datang, kami tidak tahu dari siapa saja,” lanjut Darsono. “Mungkin teman-temannya Romo. Suster misalnya, dulu kami tidak pernah bertemu orang seperti suster, tapi kok rela membantu kami.” Pasokan bantuan kebutuhan pokok, serta pakaian dan pelayanan pengobatan, tidak mampu dicegah tangan-tangan kekuasaan.

Romo melatih warga merancang strategi dalam menghadapi tantangan dan mendorong mereka menempuhnya dengan berani tapi cermat dan telaten. Mereka harus berangkat sendiri ke Semarang dan Jakarta untuk menjaring dukungan. Romo yang memberikan sangu. “Warga sini tidak ada yang punya uang. Kami tahu Romo juga bukan orang kaya. Tapi Romo memberikan dana,” cerita Trimo. “Tidak tahu uang dari mana. Mungkin dari teman-temannya Romo seperti Pak Aditjondro.” Trimo yang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari kini membuka warung kecil-kecilan di rumahnya juga menyebutkan nama Gus Dur, Arief Budiman, dan Permadi.

“Kami disuruh datang sendiri ke tempat-tempat dan orang-orang yang disebutkan Romo Mangun,” imbuh Trimo. “Kami orang desa diterima hangat di LBH Jakarta dan LBH Semarang.” Pulang dari Jakarta dan Semarang mereka memberikan laporan pada Romo. Romo Mangun bersama warga kemudian menyusun strategi selanjutnya. “Karena itu sekarang saya ngerti hukum, politik, dan cara-cara menghadapi pemerintah,” Trimo menutup kenangannya dengan bangga.

Butuh energi panjang dan waktu bertahun-tahun dalam menempuh proses hukum. Setelah melewati duapuluh-satu kali persidangan kasasi warga Kedungombo dimenangkan Mahkamah Agung (MA). Tapi tiga bulan kemudian sukacita warga dimentahkan sendiri oleh MA. Proses Peninjauan Kembali (PK) memutarbalikkan keadaan. Warga dinyatakan kalah. “Tuntutan warga tertahan lebih dari setahun dengan alasan dalam proses tapi sekarang mereka bisa ambil keputusan berbeda dalam tiga bulan!” sergah Darsono sengit.


Bukan Cerita Kenangan
Akhir Juni lalu saat rekan-rekan OrcaFilms lainnya melanjutkan eksplorasi di Grigak, Sita Darmayanti mempertemukan saya dan Benedictus Dian Kristiawan dengan dua perwakilan warga Kedungombo, Trimo dan Basirun. Kami berdua mengobrol dengan mereka, Sita, dan Romo Yatno di parokinya di Somohitan, Turi. Satu jam kemudian saya dan Kris duduk di jok belakang L300 bersama tumpukan pakaian sisa bantuan gempa yang akan dibagikan pada warga Kedungombo. Perjalanan dari kaki Merapi di kawasan Sleman hingga Kedungombo ditempuh sepanjang tiga jam.

Basirun, 47 tahun, warga Mlangi, tidak pernah mengenal Romo Mangun secara langsung tapi sekarang merasa sangat dekat dengannya. “Waktu itu saya masih muda, belum tahu apa itu perjuangan,” ujarnya.

Waduk Kedungombo memiliki beberapa peran bagi masyarakat Jawa Tengah. Pertama, irigasi. Aliran dari waduk mengairi 70.000 hektar sawah. Kedua, suplai air bersih yang jangkauannya hingga Semarang. Ketiga, PLTA berkekuatan 200.000 megavolt. Namun tidak satupun dari ketiga fungsi itu yang bisa dinikmati warga korban pembangunan waduk. Waduk sudah beroperasi tahun 1990 tapi listrik baru menerangi Mlangi tahun 2000, inipun nyantol di desa sebelah. Masyarakat Kedungpring tetap kesulitan air bersih saat kemarau. Sawah tetap garing, tanpa pengairan dari waduk.

Penyelesaian ganti rugi belum tuntas sampai saat ini. Ada enambelas dusun yang nasibnya terkatung-katung. 57 Kepala Keluarga di Dusun Mlangi belum memiliki tanah. Mereka menempati lahan Perhutani. Mata pencaharian tergantung pada pasang-surutnya waduk. Jika air waduk surut di musim kemarau warga kembali ke ladang mereka yang lama, mengolah tanah dan bertani. Hal ini mengandung konsekuensi seperti yang terjadi tahun 2005. Saat itu padi sudah siap dipanen, tiba-tiba air menggelontor kembali ke waduk. Pemerintah tidak memberikan kesempatan mereka untuk menikmati hasil panen.

Persoalannya, sulit mencari alternatif penghasilan lain. Penduduk sekitar waduk tetap bercocok tanam dari sawah pasang-surut. Padahal musim kering berkepanjangan selalu mengancam. Tanah bisa digarap tapi tidak didukung pengairan memadai. Mereka tidak bisa merasakan fungsi waduk sebagaimana para petani di Demak, Salatiga, Kudus, dan Semarang.

Sejak adanya waduk warga memiliki ketrampilan sebagai nelayan. Tapi kini jumlah ikan yang bisa ditangkap makin sedikit. Pemikiran untuk melakukan budidaya ikan air tawar terhalang modal. Dusun yang letaknya di sekitar pintu air agak beruntung. Di sana air tidak pernah surut, maka kegiatan mencari dan mengolah ikan bisa jadi andalan, meskipun hanya menjadi buruh harian di usaha peternakan ikan. Memang ada warga yang menjadi peternak tapi skalanya kecil-kecilan karena modalnya juga pas-pasan.

Di tengah usaha tak kenal lelah dalam memperjuangkan hak tanah dan ganti rugi pagi-pagi sekali warga menggarap ladang di sisi waduk yang surut, sebagian lainnya menceburkan tubuh di genangan air, menangkap ikan menggunakan branjang serta jala tebar.

“Orang itu sudah punya rejeki masing-masing, wong kene trimo wae. Sing penting tetep urip, sehat dan berjuang terus,” tutur Trimo. “Peninggalan Romo yang paling berharga bagi kami, warga Kedungombo, adalah semangat untuk tetap berjuang.”

Pardjo, 24 tahun, seorang pemuda Mlangi, masih kecil saat Romo Mangun mati-matian membela warga Kedungombo di tengah mereka. “Tapi semua kaum sepuh bercerita tentang Romo. Saya tahu dia wong apik,” kata Pardjo.

Rofi yang mengantarkan kami mengelilingi petilasan Dusun Mlangi mengatakan, “Saya tahu Romo Mangun dari cerita orangtua. Romo tidak peduli agama orang yang ditolong.” Pemuda 30 tahun yang aktif di kegiatan masjid dan cukup lama menempuh ilmu di sebuah pesantren di Jawa Timur ini termasuk generasi muda yang melanjutkan perjuangan warga Kedungombo.

“Waktu Romo seda, saya merasa terpanggil untuk berjuang,” imbuh Basirun. “Saat itu saya diajak Pak Trimo tahlilan di Jogja. Dari situ sampai sekarang saya aktif di Paguyuban Warga Kedungombo.” Warga sekitar waduk memanjatkan doa dan tahlilan hingga seribu hari wafatnya Romo Mangun.



Sebelum meninggal YB. Mangunwijaya mengirim surat untuk warga Kedungombo. Semangat yang diwariskan melalui surat itulah yang mengantarkan Darsono dan warga Kedungpring pada tahun 2002 akhirnya mendapatkan hak atas lahan seluas 17,5 hektar. Semangat itu juga yang menjadikan warga Kedungpring tidak menyurutkan langkah untuk mengiringi perjuangan warga 16 dusun lainnya yang belum memperoleh haknya.

Saat kami berdua masih berada di Kedungombo dan Suryo Wibowo bersama Ade Gunawan tinggal beberapa hari di tengah warga sekitar Pantai Grigak, Adam Herdanto dan Anastasya Putri meluncur ke kediaman KH. Abdul Muhaimin di Kotagede dan Y. Suyatno Hadiatmojo Pr. di Turi. Kyai Muhaimin dan Romo Yatno sama-sama berjuang bersama Mangun di Kedungombo dan terus melanjutkannya sepeninggal Romo. Keduanya sepakat, “Karya Romo Mangun bagi kami semua adalah bagaimana memikirkan dan berbuat untuk sesama.”

“Surat terakhir Romo Mangun jadi pegangan kami untuk terus berjuang bersama,” tegas Darsono.

Photos by Ambara Muji Prakosa & B. Dian Kristiawan

Wednesday, July 4, 2007

MAN FOR OTHERS : Meletakkan Pondasi

oleh Benedictus Dian Kristiawan



R
uangan kelas terasa lengang. Kursi-kursi dalam keadaan terbalik di atas meja. Beberapa orangtua menunggu giliran dipanggil ke dalam, untuk memperoleh laporan hasil belajar anaknya. Anak-anak yang turut-serta berkumpul dengan rekan-rekannya yang tinggal di lingkungan sekitar. Sebagaimana siswa sekolah lainnya mereka pasti tegang tapi anak-anak SD Mangunan tetap tertawa-tawa.

“Di rumah Sammy harus terus dilatih keberaniannya ya Bu,” pesan seorang guru pada orangtua Sammy. Sammy sendiri memilih bermain di luar kelas tapi kemudian berusaha mengintip ke dalam.

Rini, salah seorang orangtua, mengungkapkan SD Mangunan adalah alternatif sekolah dasar yang ideal. “Anak diajakarkan menjadi berani dan bertanggung-jawab. Belajar menghadapi sekaligus memecahkan masalah sendiri,” katanya. Rini yang berasal dari kalangan dengan perekonomian memadai ini memasukkan kedua anaknya di SD Mangunan.

Kemandirian memang fokus utama kurikulum yang dimatangkan Romo Mangun. Anak tidak hanya menghadapi bacaan di dalam ruangan melainkan bersentuhan langsung dengan lingkungan sekitar mereka. “Mereka belajar langsung dari kehidupan sehari-hari,” imbuh Rini. “Belajar tentang erosi tanah misalnya, anak-anak diajak ke sungai di dekat sekolah dan ditunjukkan proses terjadinya erosi.”

Raportan di SD Mangunan berbeda dengan sekolah dasar lain. Tiap anak memperoleh dua buku laporan berbeda. Satu buku merupakan laporan yang merujuk kurikulum nasional, satu lagi adalah raport versi Mangunan. Selain tercantum nilai juga terdapat catatan evaluasi belajar siswa bersangkutan. Kekurangan apa yang harus diperbaiki, kelebihan apa yang ia miliki. Si anak dan orangtuanya jadi lebih memahami hal-hal apa saja yang harus dikembangkan serta bimbingan seperti apa yang harus diberikan.

SD Mangunan tidak mengenal ranking. Murid tidak dipacu untuk berkompetisi dengan menghimpun angka demi angka. Dengan sistem angka mereka yang rankingnya rendah akan mendapat cap bodoh, tidak berkualitas, dan layak terdegradasi (tidak naik kelas). Pola semacam itu menjadikan mereka yang kreatif tapi lemah dalam pelajaran formal dianggap nakal, anak yang pendiam dinilai tidak berkembang. Perkembangan mereka jadi disekat-sekat, dibatas-batasi.

Guru tidak menempatkan diri sebagai sosok yang mahatahu tapi pendamping dan fasilitator. Guru adalah orangtua sekaligus sahabat anak. Hal ini pula yang diharapkan dilakukan para orangtua, menjadi teman si anak, sehingga kedekatan, keterbukaan, dan pengertian terjalin sejak dini.

Titik paling penting dari proses panjang pendidikan terletak pada pondasinya, pada tahap paling dasar. Karakter anak ditumbuhkan di fase ini. Inilah yang dirintis Romo Mangun dan kini dilanjutkan para guru SD Mangunan. Pendidikan adalah hak dasar setiap manusia yang akan menjadikannya sebagai pribadi yang bermartabat.

“Kalau libur seperti sekarang ini anak-anak malah ingin segera kembali ke sekolah,” kata Rini. “Karena di sekolah mereka selalu menemukan hal baru,”

Photos by Suryo Wibowo

Friday, June 29, 2007

MAN FOR OTHERS : Ingin Kembali

Oleh Benedictus Dian Kristiawan



Liburan panjang di depan mata. Aku bersama Suryo Wibowo, Ambara Muji Prakosa, dan Dominica Nursanti tiba menjelang pukul tujuh. Di halaman anak-anak berlari-larian, saling mengejar. Saatnya masuk ke kelas mereka tetap adu cepat. Tapi tidak ada yang tertawa menang.

Di kelas Bu Guru menjelaskan, nanti mereka memiliki tugas mengidentifikasi apa saja yang akan ditemui di candi, bangunan apa, bentuknya seperti apa.

“Di sana tempat apa Bu?”

“Di sana ada candi! Candinya di bawah tanah!” malah rekannya yang menyahut.

“Candi di bawah tanah itu apa Bu?”

Ketertarikan, rasa penasaran, dan kegairahan mereka makin besar ketika Bu Guru memberitahukan mereka akan naik kereta wisata menuju Candi Sambisari. Kereta yang dimaksud sebenarnya bukan transportasi di atas rel tapi mobil yang dimodifikasi memanjang, membentuk “kereta api” terbuka, bermesin diesel.

Sebelum berangkat Pak Guru Wandi, sang kepala sekolah, mengulurkan tangan pada anak-anak, give me five!, dan mereka saling melakukan “tos”. Sepanjang perjalanan melintasi jalan-jalan perkampungan mereka berseru-seru, menunjuk semua arah. “Itu sapi, itu sapi!” Di halaman rumah warga yang dilalui kereta terlihat tiga ekor sapi.

“Itu Gunung Merapi ... Gunung Merapi!” teriak dua orang anak bersamaan, menyaingi deru mesin diesel. Di utara sana Merapi membusungkan dadanya di tengah awan.

Satu hari menjelang menerima raport murid-murid SD Mangunan bersama-sama mengunjungi Candi Sambisari. Bu Guru Ninik menyebutnya kegiatan outbound. Candi Sambisari dikenal sebagai “candi Siwa yang terpendam” (the sunken temple of Shiva). Letaknya di Dusun Sambisari, Desa Purwomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, setengah jam dari sekolah dengan kecepatan kereta lima kilometer per jam. Candi yang ditemukan tahun 1966 ini berlatar Hindu, materialnya batuan andesit, dan kemungkinan tergerus lahar saat Merapi batuk hingga posisinya kini berada enam meter di bawah permukaan tanah.

Sampai di sana anak-anak menghambur ke candi. Sammy, murid kelas satu, agak takut menuruni anak tangga. Pak Guru Mul memotivasinya, “Takut apa? Ini cuma tangga. Ayo dicoba, ayo.” Pak Guru Mul mendahului, berjalan mundur, menghadap ke Sammy. Sammy menuruni sejumlah anak tangga dengan sukses dan segera lari bergabung dengan teman-temannya mengerubungi tubuh candi, tidak menghiraukan lagi Pak Mul.

Tidak ada anak yang diam dan menyendiri. Bimo dan Robby tidak lelah-lelahnya berlarian mengelilingi candi. Lulu mengajak Hana dan tiga teman lainnya menaiki bangunan candi dan melihat interiornya. Murid perempuan lainnya bertukar bekal sembari terus mengobrol dan bercanda.

“Pak Mul, ini tempat untuk apa?” Pak Guru Mul belum sempat menjawab, Lulu terus bertanya “Sembahyang ya? Kok di atas ada kembang sama sajen? Itu untuk apa?” Pak Guru Mul kewalahan meladeninya tapi menjawab keingintahuan mereka. Hingga kini Candi Sambisari masih digunakan pemeluk agama Hindu untuk beribadah, itu sebabnya ada persembahan di dalam candi. Setelah itu Lulu dan teman-temannya diskusi sendiri. Mereka membagi pengetahuan yang baru saja didapat pada teman lainnya. Sebagian dari mereka mulai mengamati bentuk bangunan dan menggambarkannya di kertas.

Sammy berdiri di bawah pepohonan rindang di sisi selatan candi. Ia mengikuti anak-anak lain berlari mengitari petugas yang tengah menyapu daun-daun kering. Melihat temannya mulai memanjat pohon Sammy ingin juga melakukannya, “Bu! Bu Guru, aku juga mau manjat pohon ... Tapi takut.” Keinginan dan ketakutan bercampur di wajahnya.

“Yuk, kamu harus bisa seperti yang lain. Sini, Bu Guru pegang, kamu naik.” Bu Guru membimbingnya merangkak-rangkak mendaki pohon. Melihat gurunya kini berada di bawahnya Sammy tersenyum lebar.

Romo Mangun merintis SD Mangunan sebagai buah eksperimental dan penggodokan sistem kurikulum pendidikan yang lebih mendasar. Anak diajak dekat dengan lingkungan, kegiatan di luar dinding sekolah menjadi salah satu fokus utama. Anak dilepaskan dari hapalan-hapalan. Keingintahuan mereka dikembangkan dengan melakukan eksplorasi, mendampingi mereka belajar menjadi mandiri dalam menghadapi persoalan dan tantangan. Mangunan sendiri adalah nama kampung, bukan representasi identitas Mangunwijaya.

Di kompleks Sambisari yang luas anak-anak menjadi diri mereka sendiri. Guru hanya fasilitator. Mereka dibebaskan. Tidak ada instruksi. Tidak dibatas-batasi. Tidak ada keceriwisan meluruskan ini-itu. Mereka menjadi berani, kritis, kreatif, tapi juga bertanggung-jawab karena saling menjaga satu sama lain.


“Jadi ini makam ya?”

“Bukan,” tukas Lulu. “Itu istananya, yang itu ruang tamu ...” Lulu menunjuk candi bagian tengah. “Kalau yang itu makamnya,” Kini Lulu mengarahkan telunjuk ke kedua candi pengapit.

“Oooh ...” Hana tertegun.

“Tapi sudah rusak.”

“Oh.”

“Diinjak-injak buto, raksasa.”

Rasanya ingin kembali ke belakang. Dan sekolah di SD Mangunan.

Photos by B. Dian Kristiawan

Wednesday, June 27, 2007

MAN FOR OTHERS : Melanjutkan Mangun

oleh Suryo Wibowo



Perjalan
an dari kantor di Gunungketur melewati Banguntapan, lurus ke Imogiri, naik ke Panggang, melintasi Wiloso, hingga tiba di Dusun Karang panjangnya 46 kilometer. Kondisi aspal dari Imogiri ke Panggang cukup baik dan bisa dilewati segala jenis kendaraan, hanya saja medannya naik-turun dan berliku-liku. Kewaspadaan ditingkatkan begitu memasuki jalur Panggang-Dusun Karang. Jalannya sempit dan rusak.

Di Karang telepon genggam saya kehilangan sinyal. Rekan lain juga mengalami hal yang sama. Kartu Telkomsel yang digunakan salah seorang putra Pak Kirno bisa mendeteksinya meskipun tidak stabil. Sementara listrik sudah bisa dinikmati warga Karang. Tiap rumah rata-rata memiliki kapasitas daya 450 watt. Tapi dalam perekonomian sehari-hari warga masih menggunakan sistem barter, dengan harga pasar sebagai patokannya. Misalnya harga beras di pasar Rp 5.000 per kilo, jagung Rp 2.500 setiap kilonya, maka satu kilogram beras bisa diperoleh dengan ditukar dua kilo jagung.

Pak Kirno baru saja terpilih sebagai kepala dusun ketika Romo Mangun pertama kali menyentuh dusunnya tahun 1986. Wasmi, keponakan Pak Kirno, merupakan “perantara” Mangun dan warga sekitar Grigak. Wasmi yang dulu PKL di bantaran Sungai Code kini bekerja di Purworejo dan setiap akhir pekan mudik ke Karang.

Sebelum Mangun mengenal Grigak warga yang tinggal di kawasan kering ini tidak mengenal tandon. Untuk mencapai sumber mata air mereka harus berjalan kurang-lebih empat kilometer, menyusuri jalan setapak di tengah hutan, disusul tepian karang yang curam. Saat pertama berkunjung Romo langsung memutuskan bermalam di Pantai Grigak, beratapkan deklit atau terpal yang dipinjam dari Pak Kirno. Di sana Romo Mangun mengamati kegiatan mengambil air dilakukan warga sejak pukul tiga dini hari.


Untuk sampai ke sumber warga harus menghadapi patahan yang terdapat di tepian tebing dan menuruninya dengan tangga bambu. Tangga itu jelas berbahaya dan mudah rusak. Karena selalu bersentuhan dengan air laut tangga menjadi basah dan licin, membahayakan siapapun yang menggunakannya, apalagi jika dilakukan sembari memikul air. Gempuran ombak mudah menghancurkan material tangga yang ringkih, gelombang pasang rentan menyeretnya ke lautan liar. Sumber mata air itu sendiri sering terkontaminasi air laut saat pasang.



Romo membangun “rumah” tak jauh dari sumber, berbahan bambu dan atap terpal. Sejak saat itu ia lebih sering dan lebih lama tinggal di Grigak. Biasanya seminggu, sepekan kemudian berada di Jogja, seminggu berikutnya di Grigak lagi. Mangun kemudian membeli tanah seluas delapan hektar. Didirikannya rumah yang lebih kokoh di tepian tebing. Bersama warga dibangunnya instalasi yang memudahkan warga mengakses air di sumber.

Mereka mewujudkan sebuah tembok menyerupai benteng untuk menghalangi air laut menerobos ke sumber. Materialnya batu dan beton setebal limapuluh centi, tingginya delapan meter. Sedangkan ujung patahan satu ke patahan lain dihubungkan jembatan dari beton. Tangga disusun dari batu-batu karang dan disemen. Mangun melengkapi instalasinya dengan konstruksi pipa PVC, bak/tandon air, serta pompa manual bermerk Dragon. Akses warga untuk memenuhi kebutuhan air dipermudah dan tidak lagi membahayakan.



Mangun dan warga yang sebagian besar adalah petani singkong dan jagung saling berbagi pengetahuan mengenai kesehatan, pertanian, pendidikan, serta kerukunan. Mereka menerapkan arahan Mangun untuk menggunakan sistem tumpangsari, menanam berbagai tanaman di satu lahan, serta pengukuran penebaran bibit agar kualitasnya terjaga.

Dari Romo Mangun warga juga belajar membuat wc. Sebelumnya mereka terbiasa buang air di lorong-lorong hutan. Dengan adanya wc dan tempat penampungan, kotoran tidak tersebar ke mana-mana, meminimalkan potensi jadi ladang penyakit.

Sebagaimana di wilayah karyanya yang lain Mangun dekat dengan anak-anak. Jika ada anak membutuhkan tambahan uang sekolah ia menyampaikannya sendiri ke Romo Mangun. Mangun tidak keberatan membantu, “Asal tidak untuk jajan”, pesannya.

Mangun bukan malaikat yang turun ke Grigak. Satu kebiasaannya saat menyendiri di pondoknya adalah menulis. Pak Kirno tiap hari ke sana untuk mengantarkan makanan atau sekedar menjenguk. Rutinitas Pak Kirno ini “menyelamatkan” jiwa Mangun. Suatu saat Mangun ternyata terserang malaria. Pak Kirno memergokinya tapi Romo yang keras hati menolak dibawa ke rumah sakit. Diam-diam Pak Kirno mendatangkan dokter ke rumahnya di tengah hutan. Mereka juga menolongnya saat jatuh terpleset dari tebing. Delapan orang warga membuat amben, tempat tidur, dari kayu dan bambu-bambu yang ditebas di hutan. Mereka bergantian mengusungnya melewati medan yang terjal dan licin. Sampai di Dusun Karang Romo dilarikan ke Panti Rapih menggunakan mobilnya dan sopir dadakan. Pada tahun 1994 seluruh warga Dusun Karang merayakan ulang tahun Mangun di kediamannya di atas tebing.

Agak sulit untuk merumuskan atau berspekulasi apa yang ada di benak Mangun saat memutuskan meninggalkan Grigak. Selain soal kesehatan barangkali sudah waktunya ia berkarya di tempat lain. Mungkin juga masyarakat sekitar Grigak sudah lebih mandiri. Setahun kemudian rumah kayu di tebing dibongkar. Seluruh material diangkut kembali ke Jogja. Kepergian Mangun menyertai tidak berfungsinya lagi pompa Dragon karena aus. Tapi Mbak Wasmi berusaha memahaminya, “Romo tidak ingin ada ketergantungan.”

Sepeninggal Mangun dan sesudah pompa rusak warga kembali mengambil air di sumber. Warga pernah memperoleh mesin pompa diesel dari satu institusi tapi rusak. Pipa sisa-sisa kerja Mangun juga sudah hancur diporak-porandakan gelombang. Tapi setidaknya jalan serta jembatan yang dirintis Mangun masih layak digunakan.


Namun gempa 27 Mei 2006 meremukkan jembatan yang dibangun Mangun. Satu tahun kemudian gelombang pasang dahsyat yang berlangsung selama tiga hari (17-19 Mei 2007) menyempurnakan kehancurannya. Warga kini sulit menjangkau mata air. Masih mungkin dengan mlipir, menelusuri tepian karang, tapi lebarnya hanya sepuluh centi dan sangat licin.


Photos by Suryo Wibowo, Ade Gunawan, & Ambara Muji Prakosa

Tuesday, June 26, 2007

MAN FOR OTHERS : Road to Grigak (2)



Hujan sepanjang perjalanan dari kota hingga Panggang tidak kunjung berhenti. Tidak lebat memang tapi gerimis selama dua jam menjadikan tubuh saya, Research Coordinator Suryo Wibowo, Production Manager Theo Christanto, serta cameraman Ade Gunawan basah dan dingin.

Kami berhenti di Imogiri untuk menanyakan arah ke Panggang. Tiba di pertigaan dekat Terminal Panggang berhenti lagi, menanyakan jalan menuju Legundi. Di Legundi menanyakan Girikarto. Di Girikarto mencari Dusun Karang. Benar saran Mbak Theresia Koeswardini, sebaiknya bertanya ketimbang keliru mengambil arah. Theo bekerja sebagai navigator dengan baik sehingga kami tidak tersesat dan tidak membuang-buang energi maupun bensin.

Akhirnya kami tiba di Karang, dusun paling selatan di wilayah Desa Girikarto, Kecamatan Panggang, Gunungkidul. Kami berempat sepakat : desa yang menyenangkan. Sejak masuk Girikarto suasana hangat terasakan. Keramahan warga bukan basa-basi. Setelah tiga kali memastikan arah pada warga kami sampai di kediaman Marto Sukirno, kepala dukuh Karang. Tubuh yang menggigil dihangatkan kopi kental panas yang disajikan Pak Kirno sekeluarga.

Tidak perlu berpanjang-panjang menjelaskan maksud kunjungan kami. Rupanya Mbak Dini teleh menelepon Pak Kirno, menyampaikan rencana kami. Itu sebabnya di tengah suasana akrab Pak Kirno “to the point” membicarakan banyak hal tentang Grigak dan Romo Mangun.

Wasmi, keponakan Pak Kirno, adalah “jembatan” Mangun menuju Grigak. Wasmi saat itu siswi SMKK yang tengah PKL di Kali Code. Awalnya Romo Mangun mengungkapkan dambaannya ada peserta PKL yang berasal dari Gunungkidul. Wasmi mendengarnya dan menceritakan dusunnya terletak di daerah tandus itu. Mangun menanyakan apa masalah paling rumit yang terjadi di dusunnya. Air, jawaban Wasmi.

Saat Wasmi mudik Romo Mangun ikut. Tiba di Dusun Karang Mangun diajak ke satu-satunya sumber air yang digunakan semua warga Girikarto: letaknya di tepian laut yang beringas, dikelilingi bebatuan karang yang curam.

Hujan reda. Cahaya matahari menyertai langkah kami. Pak Kirno dengan sandal khas Karang menjadi pemandu perjalanan sepanjang empat kilometer. Ah kami berempat selama ini juga dekat dengan alam, mantan anggota kelompok pecinta alam yang beberapa kali berdiri gagah di puncak Merapi. Tapi ups, jalan setapak di tengah hutan tidak lebih dari 25 centi. Berkelok-kelok, berbatu-batu, dan sangat licin. Turunan tajam diikuti tanjakan terjal. Pak Kirno menebas-nebas tanaman di kanan-kiri kami yang membuat perjalanan makin rumit. Ia sendiri melangkah gontai, seperti tengah berjalan di Ambarrukmo Plaza.

Perasaan tidak karuan, tidak sabar untuk segera sampai tapi tidak tahu berapa lama lagi jalan setapak yang menukik-nukik ini mencapai titik akhir. Tangan gatal, tulang-tulang kaki seperti lepas, dada rasanya disodok-sodok, jantung berpacu dan terlalu banyak asap di paru-paru. Celakanya lagi saking semangatnya berangkat kami lalai membawa air mineral!

Tiba-tiba kami berada dalam lanskap di mana biru langit dan laut menyatu. Ombak bergulung-gulung ke arah kami dan menyebar dipecah tebing. Memperlihatkan aksentuasi pada paduan warna lembut dan keras yang sulit dideskripsikan. Kami tidak lagi berdaya hanya untuk tersenyum lebar ...

Kami sudah di Pantai Grigak.


Kehidupan sehari-hari masyarakat Girikarto ditopang keberadaan sebuah sendang. Tapi sumber air di tengah dusun itu mendadak kering pada tahun 1991. Sejak saat itu warga benar-benar harus berjuang untuk memperoleh air tawar. Mata air di wilayah Pantai Grigak harus dicapai dengan menempuh jalan setapak di atas tebing sejauh 250 meter yang langsung berhadapan dengan hantaman gelombang. Setelah itu warga harus menuruni tebing setinggi empat meter menggunakan tangga bambu. Saat kembali ke dusun warga memikul jerigen berisi tigapuluh liter air.

Aktivitas mengambil air ini hanya bisa dilakukan saat laut surut. Gelombang menghantam-hantam tebing saat pasang dan jalan ke sumber dikuasai air laut yang juga mencemari sumber. Air di sumber tidak bisa lagi dikonsumsi karena tercampur air laut. Sudah ada warga yang meninggal jatuh dari tebing.

Romo Mangun dan warga Desa Girikarto membangun jalan beton untuk mempersempit tingkat risiko dan mendirikan tembok penahan ombak sehingga sumber air tawar yang berada tepat di tepi laut tidak lagi tercampur air asin. Di atas tebing Grigak terbangun jembatan penghubung antara bukit terakhir ke sumber air, sistem pengaliran, dan bak penampungan air, serta rumah Mangun sendiri. Untuk mengambil air warga masih harus berjalan kaki menembus hutan tapi tidak lagi menempuh jalur berbahaya.

Warga tidak perlu sampai ke sumber karena air dari sana dipompa ke tempat yang lebih tinggi menggunakan pompa manual (pompa dragon) dan ditampung di sebuah bak penampungan. Perjalanan warga cukup sampai di bak penampungan, 250 meter dari sumber.

Setelah empat tahun berada di tengah masyarakat sekitar Grigak Romo Mangun berkarya di tempat lain. Rumahnya dibongkar, materialnya dibawa kembali ke Jogja. Tapi ombak menghancurkan pipa pralon dan merusak sistem pengairan yang dirintisnya. Kerusakan itu tidak terlalu berpengaruh, konsukensinya hanya keharusan berjalan lagi hingga ke sumber.

18 Mei 2007 gelombang pasang yang dahsyat menerjang Grigak. Warga menyebutnya “tsunami”. Karya warga Girikarto bersama Mangun terhempas, tinggal puing. Tembok penghalang hancur, jembatan serta beton penghubung tebing runtuh. Tidak bisa digunakan sama sekali. Retakan tebing dan puing-puing beton menjadikan perjalanan ke Grigak kini sangat membahayakan. Karya bersama Mangun dan warga Girikarto tinggal kenangan. Kami termangu.



Kami tercenung di reruntuhan dan bekas umpak rumah Mangun. Pak Kirno menuturkan saat ini untuk memenuhi kebutuhan air selama satu bulan setiap keluarga membeli limaribu liter air dari PDAM seharga Rp 150.000. Keadaan agak mendingan saat musim hujan tiba karena mereka memiliki penampungan air hujan (PAH).

Dengan perasaan tidak terumuskan kami tetap ingin menyaksikan bagian paling abadi dari sejarah Grigak : mata air di tepian laut. Tapi laut pasang, gelombang raksasa tak henti-hentinya menyapa, benturannya dengan tebing yang keras menimbulkan suara-suara yang rasanya menyempurnakan keberadaan kami di tengah labirin tidak berujung.

Konklusi apa yang bisa ditarik pada saat karya Mangun di sini tidak lebih dari bangunan “candi” yang tidak lagi utuh dan tidak lagi berfungsi?

“Malas pulang,” ucap Theo.
“Turu kene wae piye?” ajak saya.
“Romo Mangun pertama kali ke sini juga tidur di tenda,” dorong Pak Kirno.

Tapi kami memutuskan pulang. Banyak hal yang harus direnungkan dan dibicarakan. Mangun memiliki ketetapan hati yang kokoh, kami masih jauh dari itu. Pak Kirno menuntun kami melewati jalur lain. Melintasi pepohonan di tanah milik Romo Mangun yang sudah menjadi hutan lebat.

Kaki rasanya digondeli belukar. Kami mendongak. Jalan yang harus ditempuh menanjak ekstrem – dan terjal bukan main. Lima meter pertama dilalui dengan susah-payah, napas memburu, seolah akan meledakkan jantung, dan telapak tangan tergores-gores. Meter-meter berikutnya makin rumit. Kami harus merangkak. Mendekap batang pohon, meraih akar apa saja sebagai pegangan. Celana Suryo robek karena terlalu tipis. Sepatu keds Ade terlihat lebih buluk dari warna tanah. Suryo sudah menggantung kameranya, Ade tak lagi menyentuh camcorder-nya. Pak Kirno menunggu sembari mencari daun untuk sapi-sapinya. Kami terpleset-pleset, otot berpilin-pilin, dan bibir misuh-misuh.

Kerasnya alam Grigak dan karya Mangun yang tinggal artefak meresahkan kami. Kami tidak menemukan konklusi yang bulat tapi ingin kembali. Pasti kembali ke sana. Kadung cinta. Tapi dengan cinta apa yang bisa kami lakukan?

Ambara Muji Prakosa

Ilustrasi – foto-foto Suryo Wibowo