Oleh Benedictus Dian Kristiawan
Liburan panjang di depan mata. Aku bersama Suryo Wibowo, Ambara Muji Prakosa, dan Dominica Nursanti tiba menjelang pukul tujuh. Di halaman anak-anak berlari-larian, saling mengejar. Saatnya masuk ke kelas mereka tetap adu cepat. Tapi tidak ada yang tertawa menang.
Di kelas Bu Guru menjelaskan, nanti mereka memiliki tugas mengidentifikasi apa saja yang akan ditemui di candi, bangunan apa, bentuknya seperti apa.
“Di sana tempat apa Bu?”
“Di sana ada candi! Candinya di bawah tanah!” malah rekannya yang menyahut.
“Candi di bawah tanah itu apa Bu?”
Ketertarikan, rasa penasaran, dan kegairahan mereka makin besar ketika Bu Guru memberitahukan mereka akan naik kereta wisata menuju Candi Sambisari. Kereta yang dimaksud sebenarnya bukan transportasi di atas rel tapi mobil yang dimodifikasi memanjang, membentuk “kereta api” terbuka, bermesin diesel.
Sebelum berangkat Pak Guru Wandi, sang kepala sekolah, mengulurkan tangan pada anak-anak, give me five!, dan mereka saling melakukan “tos”. Sepanjang perjalanan melintasi jalan-jalan perkampungan mereka berseru-seru, menunjuk semua arah. “Itu sapi, itu sapi!” Di halaman rumah warga yang dilalui kereta terlihat tiga ekor sapi.
“Itu Gunung Merapi ... Gunung Merapi!” teriak dua orang anak bersamaan, menyaingi deru mesin diesel. Di utara sana Merapi membusungkan dadanya di tengah awan.
Satu hari menjelang menerima raport murid-murid SD Mangunan bersama-sama mengunjungi Candi Sambisari. Bu Guru Ninik menyebutnya kegiatan outbound. Candi Sambisari dikenal sebagai “candi Siwa yang terpendam” (the sunken temple of Shiva). Letaknya di Dusun Sambisari, Desa Purwomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, setengah jam dari sekolah dengan kecepatan kereta lima kilometer per jam. Candi yang ditemukan tahun 1966 ini berlatar Hindu, materialnya batuan andesit, dan kemungkinan tergerus lahar saat Merapi batuk hingga posisinya kini berada enam meter di bawah permukaan tanah.
Sampai di sana anak-anak menghambur ke candi. Sammy, murid kelas satu, agak takut menuruni anak tangga. Pak Guru Mul memotivasinya, “Takut apa? Ini cuma tangga. Ayo dicoba, ayo.” Pak Guru Mul mendahului, berjalan mundur, menghadap ke Sammy. Sammy menuruni sejumlah anak tangga dengan sukses dan segera lari bergabung dengan teman-temannya mengerubungi tubuh candi, tidak menghiraukan lagi Pak Mul.
Tidak ada anak yang diam dan menyendiri. Bimo dan Robby tidak lelah-lelahnya berlarian mengelilingi candi. Lulu mengajak Hana dan tiga teman lainnya menaiki bangunan candi dan melihat interiornya. Murid perempuan lainnya bertukar bekal sembari terus mengobrol dan bercanda.
“Pak Mul, ini tempat untuk apa?” Pak Guru Mul belum sempat menjawab, Lulu terus bertanya “Sembahyang ya? Kok di atas ada kembang sama sajen? Itu untuk apa?” Pak Guru Mul kewalahan meladeninya tapi menjawab keingintahuan mereka. Hingga kini Candi Sambisari masih digunakan pemeluk agama Hindu untuk beribadah, itu sebabnya ada persembahan di dalam candi. Setelah itu Lulu dan teman-temannya diskusi sendiri. Mereka membagi pengetahuan yang baru saja didapat pada teman lainnya. Sebagian dari mereka mulai mengamati bentuk bangunan dan menggambarkannya di kertas.
Sammy berdiri di bawah pepohonan rindang di sisi selatan candi. Ia mengikuti anak-anak lain berlari mengitari petugas yang tengah menyapu daun-daun kering. Melihat temannya mulai memanjat pohon Sammy ingin juga melakukannya, “Bu! Bu Guru, aku juga mau manjat pohon ... Tapi takut.” Keinginan dan ketakutan bercampur di wajahnya.
“Yuk, kamu harus bisa seperti yang lain. Sini, Bu Guru pegang, kamu naik.” Bu Guru membimbingnya merangkak-rangkak mendaki pohon. Melihat gurunya kini berada di bawahnya Sammy tersenyum lebar.
Romo Mangun merintis SD Mangunan sebagai buah eksperimental dan penggodokan sistem kurikulum pendidikan yang lebih mendasar. Anak diajak dekat dengan lingkungan, kegiatan di luar dinding sekolah menjadi salah satu fokus utama. Anak dilepaskan dari hapalan-hapalan. Keingintahuan mereka dikembangkan dengan melakukan eksplorasi, mendampingi mereka belajar menjadi mandiri dalam menghadapi persoalan dan tantangan. Mangunan sendiri adalah nama kampung, bukan representasi identitas Mangunwijaya.
Di kompleks Sambisari yang luas anak-anak menjadi diri mereka sendiri. Guru hanya fasilitator. Mereka dibebaskan. Tidak ada instruksi. Tidak dibatas-batasi. Tidak ada keceriwisan meluruskan ini-itu. Mereka menjadi berani, kritis, kreatif, tapi juga bertanggung-jawab karena saling menjaga satu sama lain.
“Jadi ini makam ya?”
“Bukan,” tukas Lulu. “Itu istananya, yang itu ruang tamu ...” Lulu menunjuk candi bagian tengah. “Kalau yang itu makamnya,” Kini Lulu mengarahkan telunjuk ke kedua candi pengapit.
“Oooh ...” Hana tertegun.
“Tapi sudah rusak.”
“Oh.”
“Diinjak-injak buto, raksasa.”
Rasanya ingin kembali ke belakang. Dan sekolah di SD Mangunan.
Photos by B. Dian Kristiawan