Hujan sepanjang perjalanan dari kota hingga Panggang tidak kunjung berhenti. Tidak lebat memang tapi gerimis selama dua jam menjadikan tubuh saya, Research Coordinator Suryo Wibowo, Production Manager Theo Christanto, serta cameraman Ade Gunawan basah dan dingin.
Kami berhenti di Imogiri untuk menanyakan arah ke Panggang. Tiba di pertigaan dekat Terminal Panggang berhenti lagi, menanyakan jalan menuju Legundi. Di Legundi menanyakan Girikarto. Di Girikarto mencari Dusun Karang. Benar saran Mbak Theresia Koeswardini, sebaiknya bertanya ketimbang keliru mengambil arah. Theo bekerja sebagai navigator dengan baik sehingga kami tidak tersesat dan tidak membuang-buang energi maupun bensin.
Akhirnya kami tiba di Karang, dusun paling selatan di wilayah Desa Girikarto, Kecamatan Panggang, Gunungkidul. Kami berempat sepakat : desa yang menyenangkan. Sejak masuk Girikarto suasana hangat terasakan. Keramahan warga bukan basa-basi. Setelah tiga kali memastikan arah pada warga kami sampai di kediaman Marto Sukirno, kepala dukuh Karang. Tubuh yang menggigil dihangatkan kopi kental panas yang disajikan Pak Kirno sekeluarga.
Tidak perlu berpanjang-panjang menjelaskan maksud kunjungan kami. Rupanya Mbak Dini teleh menelepon Pak Kirno, menyampaikan rencana kami. Itu sebabnya di tengah suasana akrab Pak Kirno “to the point” membicarakan banyak hal tentang Grigak dan Romo Mangun.
Wasmi, keponakan Pak Kirno, adalah “jembatan” Mangun menuju Grigak. Wasmi saat itu siswi SMKK yang tengah PKL di Kali Code. Awalnya Romo Mangun mengungkapkan dambaannya ada peserta PKL yang berasal dari Gunungkidul. Wasmi mendengarnya dan menceritakan dusunnya terletak di daerah tandus itu. Mangun menanyakan apa masalah paling rumit yang terjadi di dusunnya. Air, jawaban Wasmi.
Saat Wasmi mudik Romo Mangun ikut. Tiba di Dusun Karang Mangun diajak ke satu-satunya sumber air yang digunakan semua warga Girikarto: letaknya di tepian laut yang beringas, dikelilingi bebatuan karang yang curam.
Hujan reda. Cahaya matahari menyertai langkah kami. Pak Kirno dengan sandal khas Karang menjadi pemandu perjalanan sepanjang empat kilometer. Ah kami berempat selama ini juga dekat dengan alam, mantan anggota kelompok pecinta alam yang beberapa kali berdiri gagah di puncak Merapi. Tapi ups, jalan setapak di tengah hutan tidak lebih dari 25 centi. Berkelok-kelok, berbatu-batu, dan sangat licin. Turunan tajam diikuti tanjakan terjal. Pak Kirno menebas-nebas tanaman di kanan-kiri kami yang membuat perjalanan makin rumit. Ia sendiri melangkah gontai, seperti tengah berjalan di Ambarrukmo Plaza.
Perasaan tidak karuan, tidak sabar untuk segera sampai tapi tidak tahu berapa lama lagi jalan setapak yang menukik-nukik ini mencapai titik akhir. Tangan gatal, tulang-tulang kaki seperti lepas, dada rasanya disodok-sodok, jantung berpacu dan terlalu banyak asap di paru-paru. Celakanya lagi saking semangatnya berangkat kami lalai membawa air mineral!
Tiba-tiba kami berada dalam lanskap di mana biru langit dan laut menyatu. Ombak bergulung-gulung ke arah kami dan menyebar dipecah tebing. Memperlihatkan aksentuasi pada paduan warna lembut dan keras yang sulit dideskripsikan. Kami tidak lagi berdaya hanya untuk tersenyum lebar ...
Kami sudah di Pantai Grigak.
Kehidupan sehari-hari masyarakat Girikarto ditopang keberadaan sebuah sendang. Tapi sumber air di tengah dusun itu mendadak kering pada tahun 1991. Sejak saat itu warga benar-benar harus berjuang untuk memperoleh air tawar. Mata air di wilayah Pantai Grigak harus dicapai dengan menempuh jalan setapak di atas tebing sejauh 250 meter yang langsung berhadapan dengan hantaman gelombang. Setelah itu warga harus menuruni tebing setinggi empat meter menggunakan tangga bambu. Saat kembali ke dusun warga memikul jerigen berisi tigapuluh liter air.
Aktivitas mengambil air ini hanya bisa dilakukan saat laut surut. Gelombang menghantam-hantam tebing saat pasang dan jalan ke sumber dikuasai air laut yang juga mencemari sumber. Air di sumber tidak bisa lagi dikonsumsi karena tercampur air laut. Sudah ada warga yang meninggal jatuh dari tebing.
Romo Mangun dan warga Desa Girikarto membangun jalan beton untuk mempersempit tingkat risiko dan mendirikan tembok penahan ombak sehingga sumber air tawar yang berada tepat di tepi laut tidak lagi tercampur air asin. Di atas tebing Grigak terbangun jembatan penghubung antara bukit terakhir ke sumber air, sistem pengaliran, dan bak penampungan air, serta rumah Mangun sendiri. Untuk mengambil air warga masih harus berjalan kaki menembus hutan tapi tidak lagi menempuh jalur berbahaya.
Warga tidak perlu sampai ke sumber karena air dari sana dipompa ke tempat yang lebih tinggi menggunakan pompa manual (pompa dragon) dan ditampung di sebuah bak penampungan. Perjalanan warga cukup sampai di bak penampungan, 250 meter dari sumber.
Setelah empat tahun berada di tengah masyarakat sekitar Grigak Romo Mangun berkarya di tempat lain. Rumahnya dibongkar, materialnya dibawa kembali ke Jogja. Tapi ombak menghancurkan pipa pralon dan merusak sistem pengairan yang dirintisnya. Kerusakan itu tidak terlalu berpengaruh, konsukensinya hanya keharusan berjalan lagi hingga ke sumber.
18 Mei 2007 gelombang pasang yang dahsyat menerjang Grigak. Warga menyebutnya “tsunami”. Karya warga Girikarto bersama Mangun terhempas, tinggal puing. Tembok penghalang hancur, jembatan serta beton penghubung tebing runtuh. Tidak bisa digunakan sama sekali. Retakan tebing dan puing-puing beton menjadikan perjalanan ke Grigak kini sangat membahayakan. Karya bersama Mangun dan warga Girikarto tinggal kenangan. Kami termangu.
Kami tercenung di reruntuhan dan bekas umpak rumah Mangun. Pak Kirno menuturkan saat ini untuk memenuhi kebutuhan air selama satu bulan setiap keluarga membeli limaribu liter air dari PDAM seharga Rp 150.000. Keadaan agak mendingan saat musim hujan tiba karena mereka memiliki penampungan air hujan (PAH).
Dengan perasaan tidak terumuskan kami tetap ingin menyaksikan bagian paling abadi dari sejarah Grigak : mata air di tepian laut. Tapi laut pasang, gelombang raksasa tak henti-hentinya menyapa, benturannya dengan tebing yang keras menimbulkan suara-suara yang rasanya menyempurnakan keberadaan kami di tengah labirin tidak berujung.
Konklusi apa yang bisa ditarik pada saat karya Mangun di sini tidak lebih dari bangunan “candi” yang tidak lagi utuh dan tidak lagi berfungsi?
“Malas pulang,” ucap Theo.
“Turu kene wae piye?” ajak saya.
“Romo Mangun pertama kali ke sini juga tidur di tenda,” dorong Pak Kirno.
Tapi kami memutuskan pulang. Banyak hal yang harus direnungkan dan dibicarakan. Mangun memiliki ketetapan hati yang kokoh, kami masih jauh dari itu. Pak Kirno menuntun kami melewati jalur lain. Melintasi pepohonan di tanah milik Romo Mangun yang sudah menjadi hutan lebat.
Kaki rasanya digondeli belukar. Kami mendongak. Jalan yang harus ditempuh menanjak ekstrem – dan terjal bukan main. Lima meter pertama dilalui dengan susah-payah, napas memburu, seolah akan meledakkan jantung, dan telapak tangan tergores-gores. Meter-meter berikutnya makin rumit. Kami harus merangkak. Mendekap batang pohon, meraih akar apa saja sebagai pegangan. Celana Suryo robek karena terlalu tipis. Sepatu keds Ade terlihat lebih buluk dari warna tanah. Suryo sudah menggantung kameranya, Ade tak lagi menyentuh camcorder-nya. Pak Kirno menunggu sembari mencari daun untuk sapi-sapinya. Kami terpleset-pleset, otot berpilin-pilin, dan bibir misuh-misuh.
Kerasnya alam Grigak dan karya Mangun yang tinggal artefak meresahkan kami. Kami tidak menemukan konklusi yang bulat tapi ingin kembali. Pasti kembali ke sana. Kadung cinta. Tapi dengan cinta apa yang bisa kami lakukan?
Ambara Muji Prakosa
Ilustrasi – foto-foto Suryo Wibowo