Friday, June 29, 2007

MAN FOR OTHERS : Ingin Kembali

Oleh Benedictus Dian Kristiawan



Liburan panjang di depan mata. Aku bersama Suryo Wibowo, Ambara Muji Prakosa, dan Dominica Nursanti tiba menjelang pukul tujuh. Di halaman anak-anak berlari-larian, saling mengejar. Saatnya masuk ke kelas mereka tetap adu cepat. Tapi tidak ada yang tertawa menang.

Di kelas Bu Guru menjelaskan, nanti mereka memiliki tugas mengidentifikasi apa saja yang akan ditemui di candi, bangunan apa, bentuknya seperti apa.

“Di sana tempat apa Bu?”

“Di sana ada candi! Candinya di bawah tanah!” malah rekannya yang menyahut.

“Candi di bawah tanah itu apa Bu?”

Ketertarikan, rasa penasaran, dan kegairahan mereka makin besar ketika Bu Guru memberitahukan mereka akan naik kereta wisata menuju Candi Sambisari. Kereta yang dimaksud sebenarnya bukan transportasi di atas rel tapi mobil yang dimodifikasi memanjang, membentuk “kereta api” terbuka, bermesin diesel.

Sebelum berangkat Pak Guru Wandi, sang kepala sekolah, mengulurkan tangan pada anak-anak, give me five!, dan mereka saling melakukan “tos”. Sepanjang perjalanan melintasi jalan-jalan perkampungan mereka berseru-seru, menunjuk semua arah. “Itu sapi, itu sapi!” Di halaman rumah warga yang dilalui kereta terlihat tiga ekor sapi.

“Itu Gunung Merapi ... Gunung Merapi!” teriak dua orang anak bersamaan, menyaingi deru mesin diesel. Di utara sana Merapi membusungkan dadanya di tengah awan.

Satu hari menjelang menerima raport murid-murid SD Mangunan bersama-sama mengunjungi Candi Sambisari. Bu Guru Ninik menyebutnya kegiatan outbound. Candi Sambisari dikenal sebagai “candi Siwa yang terpendam” (the sunken temple of Shiva). Letaknya di Dusun Sambisari, Desa Purwomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, setengah jam dari sekolah dengan kecepatan kereta lima kilometer per jam. Candi yang ditemukan tahun 1966 ini berlatar Hindu, materialnya batuan andesit, dan kemungkinan tergerus lahar saat Merapi batuk hingga posisinya kini berada enam meter di bawah permukaan tanah.

Sampai di sana anak-anak menghambur ke candi. Sammy, murid kelas satu, agak takut menuruni anak tangga. Pak Guru Mul memotivasinya, “Takut apa? Ini cuma tangga. Ayo dicoba, ayo.” Pak Guru Mul mendahului, berjalan mundur, menghadap ke Sammy. Sammy menuruni sejumlah anak tangga dengan sukses dan segera lari bergabung dengan teman-temannya mengerubungi tubuh candi, tidak menghiraukan lagi Pak Mul.

Tidak ada anak yang diam dan menyendiri. Bimo dan Robby tidak lelah-lelahnya berlarian mengelilingi candi. Lulu mengajak Hana dan tiga teman lainnya menaiki bangunan candi dan melihat interiornya. Murid perempuan lainnya bertukar bekal sembari terus mengobrol dan bercanda.

“Pak Mul, ini tempat untuk apa?” Pak Guru Mul belum sempat menjawab, Lulu terus bertanya “Sembahyang ya? Kok di atas ada kembang sama sajen? Itu untuk apa?” Pak Guru Mul kewalahan meladeninya tapi menjawab keingintahuan mereka. Hingga kini Candi Sambisari masih digunakan pemeluk agama Hindu untuk beribadah, itu sebabnya ada persembahan di dalam candi. Setelah itu Lulu dan teman-temannya diskusi sendiri. Mereka membagi pengetahuan yang baru saja didapat pada teman lainnya. Sebagian dari mereka mulai mengamati bentuk bangunan dan menggambarkannya di kertas.

Sammy berdiri di bawah pepohonan rindang di sisi selatan candi. Ia mengikuti anak-anak lain berlari mengitari petugas yang tengah menyapu daun-daun kering. Melihat temannya mulai memanjat pohon Sammy ingin juga melakukannya, “Bu! Bu Guru, aku juga mau manjat pohon ... Tapi takut.” Keinginan dan ketakutan bercampur di wajahnya.

“Yuk, kamu harus bisa seperti yang lain. Sini, Bu Guru pegang, kamu naik.” Bu Guru membimbingnya merangkak-rangkak mendaki pohon. Melihat gurunya kini berada di bawahnya Sammy tersenyum lebar.

Romo Mangun merintis SD Mangunan sebagai buah eksperimental dan penggodokan sistem kurikulum pendidikan yang lebih mendasar. Anak diajak dekat dengan lingkungan, kegiatan di luar dinding sekolah menjadi salah satu fokus utama. Anak dilepaskan dari hapalan-hapalan. Keingintahuan mereka dikembangkan dengan melakukan eksplorasi, mendampingi mereka belajar menjadi mandiri dalam menghadapi persoalan dan tantangan. Mangunan sendiri adalah nama kampung, bukan representasi identitas Mangunwijaya.

Di kompleks Sambisari yang luas anak-anak menjadi diri mereka sendiri. Guru hanya fasilitator. Mereka dibebaskan. Tidak ada instruksi. Tidak dibatas-batasi. Tidak ada keceriwisan meluruskan ini-itu. Mereka menjadi berani, kritis, kreatif, tapi juga bertanggung-jawab karena saling menjaga satu sama lain.


“Jadi ini makam ya?”

“Bukan,” tukas Lulu. “Itu istananya, yang itu ruang tamu ...” Lulu menunjuk candi bagian tengah. “Kalau yang itu makamnya,” Kini Lulu mengarahkan telunjuk ke kedua candi pengapit.

“Oooh ...” Hana tertegun.

“Tapi sudah rusak.”

“Oh.”

“Diinjak-injak buto, raksasa.”

Rasanya ingin kembali ke belakang. Dan sekolah di SD Mangunan.

Photos by B. Dian Kristiawan

Wednesday, June 27, 2007

MAN FOR OTHERS : Melanjutkan Mangun

oleh Suryo Wibowo



Perjalan
an dari kantor di Gunungketur melewati Banguntapan, lurus ke Imogiri, naik ke Panggang, melintasi Wiloso, hingga tiba di Dusun Karang panjangnya 46 kilometer. Kondisi aspal dari Imogiri ke Panggang cukup baik dan bisa dilewati segala jenis kendaraan, hanya saja medannya naik-turun dan berliku-liku. Kewaspadaan ditingkatkan begitu memasuki jalur Panggang-Dusun Karang. Jalannya sempit dan rusak.

Di Karang telepon genggam saya kehilangan sinyal. Rekan lain juga mengalami hal yang sama. Kartu Telkomsel yang digunakan salah seorang putra Pak Kirno bisa mendeteksinya meskipun tidak stabil. Sementara listrik sudah bisa dinikmati warga Karang. Tiap rumah rata-rata memiliki kapasitas daya 450 watt. Tapi dalam perekonomian sehari-hari warga masih menggunakan sistem barter, dengan harga pasar sebagai patokannya. Misalnya harga beras di pasar Rp 5.000 per kilo, jagung Rp 2.500 setiap kilonya, maka satu kilogram beras bisa diperoleh dengan ditukar dua kilo jagung.

Pak Kirno baru saja terpilih sebagai kepala dusun ketika Romo Mangun pertama kali menyentuh dusunnya tahun 1986. Wasmi, keponakan Pak Kirno, merupakan “perantara” Mangun dan warga sekitar Grigak. Wasmi yang dulu PKL di bantaran Sungai Code kini bekerja di Purworejo dan setiap akhir pekan mudik ke Karang.

Sebelum Mangun mengenal Grigak warga yang tinggal di kawasan kering ini tidak mengenal tandon. Untuk mencapai sumber mata air mereka harus berjalan kurang-lebih empat kilometer, menyusuri jalan setapak di tengah hutan, disusul tepian karang yang curam. Saat pertama berkunjung Romo langsung memutuskan bermalam di Pantai Grigak, beratapkan deklit atau terpal yang dipinjam dari Pak Kirno. Di sana Romo Mangun mengamati kegiatan mengambil air dilakukan warga sejak pukul tiga dini hari.


Untuk sampai ke sumber warga harus menghadapi patahan yang terdapat di tepian tebing dan menuruninya dengan tangga bambu. Tangga itu jelas berbahaya dan mudah rusak. Karena selalu bersentuhan dengan air laut tangga menjadi basah dan licin, membahayakan siapapun yang menggunakannya, apalagi jika dilakukan sembari memikul air. Gempuran ombak mudah menghancurkan material tangga yang ringkih, gelombang pasang rentan menyeretnya ke lautan liar. Sumber mata air itu sendiri sering terkontaminasi air laut saat pasang.



Romo membangun “rumah” tak jauh dari sumber, berbahan bambu dan atap terpal. Sejak saat itu ia lebih sering dan lebih lama tinggal di Grigak. Biasanya seminggu, sepekan kemudian berada di Jogja, seminggu berikutnya di Grigak lagi. Mangun kemudian membeli tanah seluas delapan hektar. Didirikannya rumah yang lebih kokoh di tepian tebing. Bersama warga dibangunnya instalasi yang memudahkan warga mengakses air di sumber.

Mereka mewujudkan sebuah tembok menyerupai benteng untuk menghalangi air laut menerobos ke sumber. Materialnya batu dan beton setebal limapuluh centi, tingginya delapan meter. Sedangkan ujung patahan satu ke patahan lain dihubungkan jembatan dari beton. Tangga disusun dari batu-batu karang dan disemen. Mangun melengkapi instalasinya dengan konstruksi pipa PVC, bak/tandon air, serta pompa manual bermerk Dragon. Akses warga untuk memenuhi kebutuhan air dipermudah dan tidak lagi membahayakan.



Mangun dan warga yang sebagian besar adalah petani singkong dan jagung saling berbagi pengetahuan mengenai kesehatan, pertanian, pendidikan, serta kerukunan. Mereka menerapkan arahan Mangun untuk menggunakan sistem tumpangsari, menanam berbagai tanaman di satu lahan, serta pengukuran penebaran bibit agar kualitasnya terjaga.

Dari Romo Mangun warga juga belajar membuat wc. Sebelumnya mereka terbiasa buang air di lorong-lorong hutan. Dengan adanya wc dan tempat penampungan, kotoran tidak tersebar ke mana-mana, meminimalkan potensi jadi ladang penyakit.

Sebagaimana di wilayah karyanya yang lain Mangun dekat dengan anak-anak. Jika ada anak membutuhkan tambahan uang sekolah ia menyampaikannya sendiri ke Romo Mangun. Mangun tidak keberatan membantu, “Asal tidak untuk jajan”, pesannya.

Mangun bukan malaikat yang turun ke Grigak. Satu kebiasaannya saat menyendiri di pondoknya adalah menulis. Pak Kirno tiap hari ke sana untuk mengantarkan makanan atau sekedar menjenguk. Rutinitas Pak Kirno ini “menyelamatkan” jiwa Mangun. Suatu saat Mangun ternyata terserang malaria. Pak Kirno memergokinya tapi Romo yang keras hati menolak dibawa ke rumah sakit. Diam-diam Pak Kirno mendatangkan dokter ke rumahnya di tengah hutan. Mereka juga menolongnya saat jatuh terpleset dari tebing. Delapan orang warga membuat amben, tempat tidur, dari kayu dan bambu-bambu yang ditebas di hutan. Mereka bergantian mengusungnya melewati medan yang terjal dan licin. Sampai di Dusun Karang Romo dilarikan ke Panti Rapih menggunakan mobilnya dan sopir dadakan. Pada tahun 1994 seluruh warga Dusun Karang merayakan ulang tahun Mangun di kediamannya di atas tebing.

Agak sulit untuk merumuskan atau berspekulasi apa yang ada di benak Mangun saat memutuskan meninggalkan Grigak. Selain soal kesehatan barangkali sudah waktunya ia berkarya di tempat lain. Mungkin juga masyarakat sekitar Grigak sudah lebih mandiri. Setahun kemudian rumah kayu di tebing dibongkar. Seluruh material diangkut kembali ke Jogja. Kepergian Mangun menyertai tidak berfungsinya lagi pompa Dragon karena aus. Tapi Mbak Wasmi berusaha memahaminya, “Romo tidak ingin ada ketergantungan.”

Sepeninggal Mangun dan sesudah pompa rusak warga kembali mengambil air di sumber. Warga pernah memperoleh mesin pompa diesel dari satu institusi tapi rusak. Pipa sisa-sisa kerja Mangun juga sudah hancur diporak-porandakan gelombang. Tapi setidaknya jalan serta jembatan yang dirintis Mangun masih layak digunakan.


Namun gempa 27 Mei 2006 meremukkan jembatan yang dibangun Mangun. Satu tahun kemudian gelombang pasang dahsyat yang berlangsung selama tiga hari (17-19 Mei 2007) menyempurnakan kehancurannya. Warga kini sulit menjangkau mata air. Masih mungkin dengan mlipir, menelusuri tepian karang, tapi lebarnya hanya sepuluh centi dan sangat licin.


Photos by Suryo Wibowo, Ade Gunawan, & Ambara Muji Prakosa

Tuesday, June 26, 2007

MAN FOR OTHERS : Road to Grigak (2)



Hujan sepanjang perjalanan dari kota hingga Panggang tidak kunjung berhenti. Tidak lebat memang tapi gerimis selama dua jam menjadikan tubuh saya, Research Coordinator Suryo Wibowo, Production Manager Theo Christanto, serta cameraman Ade Gunawan basah dan dingin.

Kami berhenti di Imogiri untuk menanyakan arah ke Panggang. Tiba di pertigaan dekat Terminal Panggang berhenti lagi, menanyakan jalan menuju Legundi. Di Legundi menanyakan Girikarto. Di Girikarto mencari Dusun Karang. Benar saran Mbak Theresia Koeswardini, sebaiknya bertanya ketimbang keliru mengambil arah. Theo bekerja sebagai navigator dengan baik sehingga kami tidak tersesat dan tidak membuang-buang energi maupun bensin.

Akhirnya kami tiba di Karang, dusun paling selatan di wilayah Desa Girikarto, Kecamatan Panggang, Gunungkidul. Kami berempat sepakat : desa yang menyenangkan. Sejak masuk Girikarto suasana hangat terasakan. Keramahan warga bukan basa-basi. Setelah tiga kali memastikan arah pada warga kami sampai di kediaman Marto Sukirno, kepala dukuh Karang. Tubuh yang menggigil dihangatkan kopi kental panas yang disajikan Pak Kirno sekeluarga.

Tidak perlu berpanjang-panjang menjelaskan maksud kunjungan kami. Rupanya Mbak Dini teleh menelepon Pak Kirno, menyampaikan rencana kami. Itu sebabnya di tengah suasana akrab Pak Kirno “to the point” membicarakan banyak hal tentang Grigak dan Romo Mangun.

Wasmi, keponakan Pak Kirno, adalah “jembatan” Mangun menuju Grigak. Wasmi saat itu siswi SMKK yang tengah PKL di Kali Code. Awalnya Romo Mangun mengungkapkan dambaannya ada peserta PKL yang berasal dari Gunungkidul. Wasmi mendengarnya dan menceritakan dusunnya terletak di daerah tandus itu. Mangun menanyakan apa masalah paling rumit yang terjadi di dusunnya. Air, jawaban Wasmi.

Saat Wasmi mudik Romo Mangun ikut. Tiba di Dusun Karang Mangun diajak ke satu-satunya sumber air yang digunakan semua warga Girikarto: letaknya di tepian laut yang beringas, dikelilingi bebatuan karang yang curam.

Hujan reda. Cahaya matahari menyertai langkah kami. Pak Kirno dengan sandal khas Karang menjadi pemandu perjalanan sepanjang empat kilometer. Ah kami berempat selama ini juga dekat dengan alam, mantan anggota kelompok pecinta alam yang beberapa kali berdiri gagah di puncak Merapi. Tapi ups, jalan setapak di tengah hutan tidak lebih dari 25 centi. Berkelok-kelok, berbatu-batu, dan sangat licin. Turunan tajam diikuti tanjakan terjal. Pak Kirno menebas-nebas tanaman di kanan-kiri kami yang membuat perjalanan makin rumit. Ia sendiri melangkah gontai, seperti tengah berjalan di Ambarrukmo Plaza.

Perasaan tidak karuan, tidak sabar untuk segera sampai tapi tidak tahu berapa lama lagi jalan setapak yang menukik-nukik ini mencapai titik akhir. Tangan gatal, tulang-tulang kaki seperti lepas, dada rasanya disodok-sodok, jantung berpacu dan terlalu banyak asap di paru-paru. Celakanya lagi saking semangatnya berangkat kami lalai membawa air mineral!

Tiba-tiba kami berada dalam lanskap di mana biru langit dan laut menyatu. Ombak bergulung-gulung ke arah kami dan menyebar dipecah tebing. Memperlihatkan aksentuasi pada paduan warna lembut dan keras yang sulit dideskripsikan. Kami tidak lagi berdaya hanya untuk tersenyum lebar ...

Kami sudah di Pantai Grigak.


Kehidupan sehari-hari masyarakat Girikarto ditopang keberadaan sebuah sendang. Tapi sumber air di tengah dusun itu mendadak kering pada tahun 1991. Sejak saat itu warga benar-benar harus berjuang untuk memperoleh air tawar. Mata air di wilayah Pantai Grigak harus dicapai dengan menempuh jalan setapak di atas tebing sejauh 250 meter yang langsung berhadapan dengan hantaman gelombang. Setelah itu warga harus menuruni tebing setinggi empat meter menggunakan tangga bambu. Saat kembali ke dusun warga memikul jerigen berisi tigapuluh liter air.

Aktivitas mengambil air ini hanya bisa dilakukan saat laut surut. Gelombang menghantam-hantam tebing saat pasang dan jalan ke sumber dikuasai air laut yang juga mencemari sumber. Air di sumber tidak bisa lagi dikonsumsi karena tercampur air laut. Sudah ada warga yang meninggal jatuh dari tebing.

Romo Mangun dan warga Desa Girikarto membangun jalan beton untuk mempersempit tingkat risiko dan mendirikan tembok penahan ombak sehingga sumber air tawar yang berada tepat di tepi laut tidak lagi tercampur air asin. Di atas tebing Grigak terbangun jembatan penghubung antara bukit terakhir ke sumber air, sistem pengaliran, dan bak penampungan air, serta rumah Mangun sendiri. Untuk mengambil air warga masih harus berjalan kaki menembus hutan tapi tidak lagi menempuh jalur berbahaya.

Warga tidak perlu sampai ke sumber karena air dari sana dipompa ke tempat yang lebih tinggi menggunakan pompa manual (pompa dragon) dan ditampung di sebuah bak penampungan. Perjalanan warga cukup sampai di bak penampungan, 250 meter dari sumber.

Setelah empat tahun berada di tengah masyarakat sekitar Grigak Romo Mangun berkarya di tempat lain. Rumahnya dibongkar, materialnya dibawa kembali ke Jogja. Tapi ombak menghancurkan pipa pralon dan merusak sistem pengairan yang dirintisnya. Kerusakan itu tidak terlalu berpengaruh, konsukensinya hanya keharusan berjalan lagi hingga ke sumber.

18 Mei 2007 gelombang pasang yang dahsyat menerjang Grigak. Warga menyebutnya “tsunami”. Karya warga Girikarto bersama Mangun terhempas, tinggal puing. Tembok penghalang hancur, jembatan serta beton penghubung tebing runtuh. Tidak bisa digunakan sama sekali. Retakan tebing dan puing-puing beton menjadikan perjalanan ke Grigak kini sangat membahayakan. Karya bersama Mangun dan warga Girikarto tinggal kenangan. Kami termangu.



Kami tercenung di reruntuhan dan bekas umpak rumah Mangun. Pak Kirno menuturkan saat ini untuk memenuhi kebutuhan air selama satu bulan setiap keluarga membeli limaribu liter air dari PDAM seharga Rp 150.000. Keadaan agak mendingan saat musim hujan tiba karena mereka memiliki penampungan air hujan (PAH).

Dengan perasaan tidak terumuskan kami tetap ingin menyaksikan bagian paling abadi dari sejarah Grigak : mata air di tepian laut. Tapi laut pasang, gelombang raksasa tak henti-hentinya menyapa, benturannya dengan tebing yang keras menimbulkan suara-suara yang rasanya menyempurnakan keberadaan kami di tengah labirin tidak berujung.

Konklusi apa yang bisa ditarik pada saat karya Mangun di sini tidak lebih dari bangunan “candi” yang tidak lagi utuh dan tidak lagi berfungsi?

“Malas pulang,” ucap Theo.
“Turu kene wae piye?” ajak saya.
“Romo Mangun pertama kali ke sini juga tidur di tenda,” dorong Pak Kirno.

Tapi kami memutuskan pulang. Banyak hal yang harus direnungkan dan dibicarakan. Mangun memiliki ketetapan hati yang kokoh, kami masih jauh dari itu. Pak Kirno menuntun kami melewati jalur lain. Melintasi pepohonan di tanah milik Romo Mangun yang sudah menjadi hutan lebat.

Kaki rasanya digondeli belukar. Kami mendongak. Jalan yang harus ditempuh menanjak ekstrem – dan terjal bukan main. Lima meter pertama dilalui dengan susah-payah, napas memburu, seolah akan meledakkan jantung, dan telapak tangan tergores-gores. Meter-meter berikutnya makin rumit. Kami harus merangkak. Mendekap batang pohon, meraih akar apa saja sebagai pegangan. Celana Suryo robek karena terlalu tipis. Sepatu keds Ade terlihat lebih buluk dari warna tanah. Suryo sudah menggantung kameranya, Ade tak lagi menyentuh camcorder-nya. Pak Kirno menunggu sembari mencari daun untuk sapi-sapinya. Kami terpleset-pleset, otot berpilin-pilin, dan bibir misuh-misuh.

Kerasnya alam Grigak dan karya Mangun yang tinggal artefak meresahkan kami. Kami tidak menemukan konklusi yang bulat tapi ingin kembali. Pasti kembali ke sana. Kadung cinta. Tapi dengan cinta apa yang bisa kami lakukan?

Ambara Muji Prakosa

Ilustrasi – foto-foto Suryo Wibowo

Monday, June 18, 2007

MAN FOR OTHERS : Road to Grigak (1)



Romo Mangun seseorang yang bisa setiap saat bergerak ke mana saja, termasuk ke Grigak yang terpencil. Kendaraan utama Mangun bukan jeep tapi hati nurani. Grigak? Saya tidak akan heran jika ada teman yang mengatakan, “Dengar namanya aja udah males.” Saya sendiri sudah lama mendengar Romo Mangun berkarya di Grigak tapi hingga saat ini saya tidak tahu di mana letak tempat itu, meskipun saya dan Grigak berada di wilayah provinsi yang sama. Well, saya tidak berani mengkaitkan hal ini dengan hati nurani ...

Grigak adalah kawasan pantai di balik perbukitan Gunungkidul yang gersang. Air menjadi persoalan serius di sana. Untuk mengambil air bersih warga harus berjalan kaki berkilo-kilometer menuju mata air dan membawanya pulang dalam pikulan. Menempuh jalan panjang yang sama, dengan daya yang mulai susut tapi beban makin berat.

Air tidak pernah menjadi masalah saya. Tinggal memutar kran, air tumpah berlimpah-ruah. Kadangkala warnanya coklat seperti kopi instan tapi toh tinggal membuntel bibir kran dengan saputangan atau bekas kaos kaki. Bukan masalah. Tidak perlu dianggap masalah. Juga saat saya lalai menutup kran dan air meluber-luber tak berguna. Tagihan bulanan juga tak seberapa. Rekening air tidak pernah sememusingkan tagihan telepon.

Saya bayangkan jika saya berada di posisi Mangun saat seorang pelajar yang tengah PKL di Code bercerita mengenai orangtuanya yang tinggal di Grigak. Ia menuturkan keadaan alam Grigak yang keras, kering, air asin seluas samudera tapi sumber air untuk kebutuhan sehari-hari hanya terdapat di mata air yang letaknya jauh dari pemukiman. Mendengar itu semua rasanya saya hanya akan membatin, “That’s life,” dan mengatakan padanya, “Yo dilakoni.”

Saya punya banyak waktu, saya muda dan enerjik, wawasan saya luas, saya lama tinggal di Gunung Ketur tapi cita-cita saya setinggi Semeru, dan sekurang-kurangnya saya butuh empatpuluh tahun lagi untuk menumbuhkan janggut perak seperti Mangun. Jika Mangun mulai memikirkan sistem pengaliran air yang mudah diakses masyarakat Grigak, saya paling memikirkan tulisan tentang eksotisme Grigak di blog. Bagi Mangun air bersih berperan mengangkat kualitas kehidupan manusia, bagi saya apa yang saya baca, lihat, dan kemudian dituliskan akan membuat saya dianggap pintar. Mangun memikirkan orang lain, saya memikirkan orang lain agar memikirkan saya.

Ah tapi jelek-jelek begini saya tidak seperti seorang teman mahasiswa yang jurnalis, aktivis, ilmuwan sosial, dan pekerja kemanusiaan yang konon kabarnya kritis dan peka karena gemar membolak-balik halaman demi halaman buku Sartre, Camus, Pierre Bourdieu, Jurgen Habermas, Roland Barthes, dan Ivan Illich, tapi tidak tahu siapa YB. Mangunwijaya. “Siapa itu Romo Mangun?” tanyanya.
Saya berbuih-buih menjawabnya.
“Apa menariknya Romo Mangun itu?”
Saya berbuih lagi dengan urat dahi menegang.
“Dosen dan teman-teman saya di kampus tidak ada yang pernah membicarakan Romo Mangun.”
Kini rahang saya mengeras.

Mangun tiba di Grigak. Tidak sekedar mengenal, Mangun tinggal di sana. Didirikannya gubuk bambu di tengah hutan. Diolahnya sumber air yang mudah dijangkau warga. Diciptakannya sejumlah karya sastra dan esai dalam keheningan.

Dalam perjalanan dari Jogja ke Grigak Mangun melemparkan biji tanaman dan benih pohon apa saja. Soal lempar-melempar biji ini juga menjadi syarat bagi siapapun yang akan berkunjung atau menemui Mangun di sana. Menjadi “tiket masuk” kawasan Grigak. Wilayah garing itu menjadi hijau.

Saya bersama Theo Christanto dan Miranda Putri secara khusus mendiskusikan Grigak dengan Eko Prawoto, sahabat Mangun. Grigak adalah karya besar Mangun yang bahkan belum pernah disentuh Eko, arsitek yang dianggap sebagai anak sendiri oleh Mangun. Kami dan Pak Eko pasti akan ke sana. Kami memperoleh “ancer-ancer” dari Theresia Koeswardini, mantan sekretaris pribadi Mangun. Saya, Theo, Suryo Wibowo, Dwi Fitria Sari, Ade Gunawan, Benedictus Kristiawan, Adam Herdanto, dan Miranda Putri mulai merembug rencana ke Grigak.

Timbul antusiasme dan kegairahan. Menjelang berangkat Rabu 20 Juni kami persiapkan segalanya. Tapi tiba-tiba muncul pertanyaan dalam batin saat menatap motor kami, kendaraan kami nanti, yang suaranya lebih gagah dari geraknya. Man For Others bukan perkara pendokumentasian tapi soal bagaimana menjadi seperti itu. Dan Grigak adalah salah satu masterpiece Mangunwijaya yang tidak membutuhkan tepuk tangan.

Ambara Muji Prakosa

Ilustrasi – Puspa Perwitasari / Widyo Utomo & Ambara Muji P.

Bermalam Minggu di Klisat

oleh Dwi Fitria Sari


Malam Minggu 16 Juni 2007 adalah penugasan pertama saya sebagai personel OrcaFilms. Sejatinya hanya Didik Wirawan dan saya yang berangkat ke Klisat untuk menyaksikan sekaligus observasi latihan kesenian srandul di sana. Tapi beberapa personel lain yang baru saja menyelesaikan meeting di headquarter memutuskan ikut. Andika Vitrian Nugroho tengah ”alone” karena pacarnya sakit, tapi Ade Gunawan dan Adam Herdanto memang tidak punya kekasih untuk melewatkan malam panjang bersama.

Mobil yang dikemudikan Didik melewati wilayah Canden – di mana November 2006 silam OrcaFilms bersama SAV. Puskat memproduksi film dokumenter Unicef No Lost Childhood. Sayang saya tidak sempat singgah dan berkenalan dengan Ahmad serta Isnani – dua tokoh utama film tersebut – karena Didik ingin tiba di Klisat sebelum latihan dimulai. Tapi di sela lagu-lagu romantis yang diputar Didik (dan kontras dengan atmosfer mobil kami yang hiruk-pikuk) Andi beberapa kali melepas kenangan terhadap anak-anak Canden dengan menirukan ”statement” mereka di film: ”Main badminton karo Ahmad, boneka-bonekaan karo Nani ...”

Lebih dari separoh perjalanan kami menerobos kegelapan dan jalanan batu yang sunyi. Perasaan gamang saat menempuhnya seolah disempurnakan reruntuhan akibat gempa 27 Mei 2006 yang samar-samar terlihat dari jendela mobil. Klisat juga gelap dan sunyi. Sebagian rumah yang rusak berat belum diperbaiki, sebagaian lainnya telah menjelma bangunan baru dengan material sederhana. Saya telah melihat rekaman Didik saat ”meliput” pementasan srandul oleh warga Klisat dalam peringatan setahun gempa di Lapangan Pundong, tapi mendekati tempat latihan mereka tidak terdengar tetabuhan para wiyogo.

Didik tidak mampu menyembunyikan kekecewaan begitu Pak Sabar, salah seorang tokoh pelestari srandul, menginformasikan latihan digeser ke hari Minggu. Didik sempat menyampaikan ”protes” karena sorenya sudah menelepon dan memperoleh konfirmasi dari pemuda setempat bahwa latihan akan dilaksanakan malam ini. Namun Ade dan Adam terlihat tenang dan malah senyum-senyum.

Pak Sabar antusias menyambut keinginan Adam mengobrol segala hal mengenai srandul. Ade tanpa dikomando mengeluarkan handycam, Andi mendirikan tripod, dan garis wajah Didik berubah sumringah. Saat kami mempersiapkan diri, juga menata setting agar Pak Sabar menempati posisi di bawah neon, Adam menyusup keluar. Berbincang dan merokok bersama para bapak dan pemuda yang thethek di pelataran. Ia merintis keakraban agar obrolan nanti berlangsung cair, tidak terasa sebagai interview.

Kami berlima tidak ada yang mampu berbahasa kromo secara benar tapi kejujuran kami malah menghangatkan suasana. Yang jelas saya tidak mungkin menjalankan assignment untuk mewawancarai mereka dengan sempurna karena pengetahuan bahasa Jawa yang secuil-cuil. Di sisi lain Pak Sabar dan rekan-rekannya lebih ekspresif dan lugas dengan bahasa Jawa.



Di ruang tamu dengan struktur ”bata ekspos” di sebagian dindingnya Bu Sabar menggelar tikar. Saya duduk di sisi Adam yang mengendalikan dialog dengan bahasa Jawa akrobatik. Saya berusaha mencatat secara eksak dan cepat, Ade merekam dari berbagai sudut, Andi memotret, sementara Didik mengarahkan variasi penempatan kedua camera. Suasananya gayeng. Pak Sabar ditemani Mujiran, Ngadiman, Paryono, dan Samiyo. Mereka bicara dengan rileks, bersemangat, penuh tawa, saling menimpali, tapi deskriptif dan sabar.

Srandul rupanya bukan ”moyangnya” seni ketoprak meskipun memiliki dramaturgi serupa. Srandul bersumber Babad Menak yang berasal dari wilayah Timur Tengah. Itu sebabnya kostum para aktor srandul (disebut ”wayang”) semestinya menyerupai busana Aladin dalam Kisah 1001 Malam, lengkap dengan sepatu lancipnya. Soal kostum ini mewakili berbagai persoalan seni srandul di Klisat: mereka tidak memiliki koleksi kostum sehingga pengadaannya sekedarnya, sepunyanya; alat musik seperti angklung dirusak gempa hingga suaranya berubah dan tidak layak lagi, dan sejumlah seniman srandul memilih menekuni campursari yang lebih laku. Bahkan saat pentas di Pundong Pak Sabar mendatangkan pemain ketoprak dari luar Klisat untuk mengisi dua karakter utama dengan pengganti ”uang transport” yang diambil dari dompetnya sendiri.



Satu hal yang luar biasa, uraian kendala itu sama sekali tidak diungkapkan dengan wajah muram. Saya rasa spirit kolektif dalam kesenian tradisional menjadi landasannya. Sebelum tampil di panggung Pundong Mei silam srandul dipentaskan terakhir kali tahun 1975. Sudah lebih dari tigapuluh tahun tapi mereka tidak terlihat berjarak. Masing-masing tetap fasih melantunkan syair dan menceritakan kepada kami kisah demi kisah yang dimiliki srandul, seperti epik Kerajaan Puserbumi, Kraton Medayin, dan Kraton Ngayapan.

Dalam pementasan di Pundong ditampilkan kisah cinta Kadarwati dan Imam Suwongso. Putri Kadarwati dari Kraton Medayin dijodohkan dengan Pangeran Herman, putra mahkota Ngayapan. Tapi Kadarwati malah jatuh cinta pada Imam Suwongso dari Puserbumi. Menolak pinangan Herman dan mendamba Imam Suwongso memicu situasi pelik. Ketiga kerajaan yang ampuh itu harus saling berbenturan, Imam sampai diusir dari kraton, dan Kadarwati sendiri jadi sakit mental.

Kisah tidak mandeg di situ. Srandul memberikan perhatian pada ”hal-hal kecil”. Seperti fragmen pertemuan Imam Suwongso dengan pencari ikan yang tidak ada kaitannya dengan pengembangan plot. Srandul juga memunculkan sequence ”punakawan” sebagaimana di wayang. Di tengah kisah ditampilkan tokoh jenaka seperti Gareng-Petruk. Fungsinya tidak sekedar untuk penyegaran tapi juga refleksi.

Lakon srandul diarahkan oleh seorang sutradara yang disebut dalang. Dalang srandul sekarang adalah Josuwito. Sayang kami belum sempat bertemu karena beliau tengah berada di luar dusun. Josuwito menjadi dalang karena ayahnya juga dalang srandul. Kini Paryono, putra Josuwito, telah diplot menjadi dalang berikutnya, kelak setelah ayahnya tiada. Sejumlah posisi dalam kesenian srandul memang diwariskan secara turun-temurun.

Srandul mengandung tari-tarian, musik dan nyayian, serta pembagian peran dan sequence yang baku. Itu sebabnya kebutuhan personel dalam satu pementasan srandul bisa lebih dari tigapuluh orang. Di awal pementasan para pelakon (wayang) tampil satu per satu ke panggung dengan menari. Ini sequence yang disebut dapukan. Disusul kemudian dengan sequence giyar-giyar, simak ramak gagah, simak ramah semarangan, yongka-yongki, dan mendung-mendung. Hmm suatu perjalanan panjang sebelum tiba di cerita utama. Giyar-giyar misalnya ditarikan oleh seorang penari wanita dengan sesaji, bakaran dupa, serta oncor, sebagai representasi turunnya bidadari dari kahyangan. Ini ritual untuk memohon keselamatan. Saking panjangnya tahapan-tahapan dalam srandul pementasannya bisa berlangsung hingga fajar menjelang.



Suasana di rumah Pak Sabar yang juga dijadikan panggung dalam latihan semakin gegap-gempita ketika mereka membunyikan piranti-piranti musik sembari melantunkan syair. Pak Sabar dan rekan-rekannya memainkan kendang, kenthongan, sampai angklung yang sudah fals itu dalam orkestrasi sederhana tapi sungguh exciting untuk diikuti! Heri personel termuda, termodis, dan ber-handphone tercanggih yang mengenal srandul saat balita masih agak canggung menyesuaikan pukulan kenthongan tapi ia sudah berkomitmen akan tampil total dalam pentas tujuhbelasan Agustus nanti.



Wah pengenalan langsung seperti ini jauh lebih bermakna ketimbang browsing soal srandul melalui internet! Yang lebih menyenangkan, tidak ada interupsi dering telepon, tidak seorangpun dari kami menggenggam handphone dan memikirkan hal lain.

Sungguh ini malam Minggu yang menyenangkan dan mengesankan. Saat kami bertanya mengenai akibat gempa, para bapak dan mas-mas yang sehari-hari bekerja sebagai tukang kayu, tukang batu, tukang keramik, dan sopir truk ini menuturkannya dengan ”enteng”, dengan pancaran optimisme yang timbul dari refleksi mendalam. Mereka sungguh-sungguh berbagi dan kami benar-benar belajar mengapresiasi.

Ilustrasi – foto-foto Andika Vitrian Nugroho

Saturday, June 16, 2007

Satu Langkah Untuk Selamanya


Gempa 27 Mei 2006 menghancurkan kehidupan warga Bantul. Tingkat kerusakan di Dusun Warungpring, Kecamatan Bambanglipuro, yang mencapai 98% dari keseluruhan pemukiman menjadikan seni jathilan dan mocopatan yang selama ini hidup di tengah warga seolah turut lenyap dari bumi. Semangat warga dan piranti kesenian mereka sama-sama hancur. Bantuan mengalir ke penjuru Bantul tapi tidak menyentuh elemen kesenian yang justru potensial menjadi penyeimbang.

Sukempi, ketua pemuda Warungpring yang telah bermain ketoprak lokal sejak usia belia, menyaksikan jathilan dan ketoprak sudah menjadi bagian dari kehidupan warga dusunnya dari jaman simbah-simbahnya. Warga Warungpring yang sebagian besar bekerja sebagai petani dan pedagang ini tahun 1960-an mengembangkan seni mocopat, kemudian seni karawitan serta tari.


Gempa melumpuhkan aktivitas warga. Termasuk kesenian. Sampai piranti karawitan dilego untuk menambah pembiayaan pembangunan rumah. Padahal piranti itulah yang selama ini menjadi andalan warga dalam berkesenian. Sementara satu set peralatan karawitan hasil pilkades kualitasnya tidak cukup baik.

Tapi Didik Wirawan yang dalam observasi lanjutan ke Warungpring didampingi Ambara Muji Prakosa, salah seorang writer/director OrcaFilms, melihat akar berkesenian memainkan peranan utama kebangkitan mereka. Setelah mengalami masa-masa sulit paska-gempa kaum muda Warungpring justru bergairah mempelajari dan memainkan seni reog. Kaum sepuh dusun pun memberikan dukungan.



Dalam pertemuan warga 4 Juni 2007 memang tidak terlihat “gap” antar-generasi. Tidak ada kesan feodal. Diskusi mengenai rencana pengembangan dan pementasan seni reog berlangsung cair. Mereka telah menampilkan jathilan di panggung rakyat Pundong dalam peringatan satu tahun gempa namun kali ini antusias membahas reog yang justru belum dikuasai.

Minggu 10 Juni warga Warungpring mulai berlatih di lapangan volley. Yayasan Cemeti yang memiliki atensi khusus dalam mendorong terwujudnya kembali lingkungan berkesenian warga Bantul mengirimkan seorang lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) sebagai pendamping.


Pemahaman dan gerakan yang dilakukan masih terlihat lugu tapi antusiasme mereka tidak pudar. Dari 12 orang penari jumlahnya bertambah menjadi tigapuluh. Anak-anak yang mengelilingi lapangan memberikan semangat. Suraji, warga dari dusun tetangga yang berpengalaman memainkan reog, turut membantu. Kadangkala langkah kaki dan gerakan tangan mereka tidak beraturan karena tetabuhan yang mengiringi terlalu keras dan ketukannya belum teratur. Saat diusulkan belajar gerakan dulu tanpa musik mereka menolak karena merasa aneh menari tanpa iringan. Didik yang hadir bersama Miranda Putri merasakan dinamika yang menggairahkan.



Warga Warungpring berniat menyelenggarakan kirab budaya saat tujuhbelasan nanti. Seluruh warga akan terlibat dan setiap RT akan menampilkan kesenian. Mereka tidak ingin selalu menjadi penonton melainkan turut berkesenian dan diapresiasi. Jika semua tampil lalu siapa yang menonton?

“Penduduk desa lain,” sahut Sukempi optimis.

Yok / Red.

Tuesday, June 12, 2007

MAN FOR OTHERS : Sketsa Mangun (2)


Pendidikan adalah proses pengembangan pengetahuan dan karakter, serta sikap hidup pada diri manusia, bangsa dalam arti utuh. - Y.B. Mangunwijaya

Pendidikan dan kemanusiaan menjadi fokus Y.B. Mangunwijaya. Romo Mangun memang mencurahkan perenungan, pemikiran, dan tindakannya terhadap persoalan bangsa dan masyarakat, khususnya menyangkut kemiskinan, kebodohan, dan ketidakadilan. Memasuki alam pikiran Romo Mangun kita seperti mengupas kulit bawang, selalu ada hal-hal baru.

Pokok pikiran Romo Mangun reflektif tapi tidak berhenti di situ. Ia bertindak dan menebar daya juang. Kecintaan Romo Mangun pada sesama membawa kita pada pemaknaan pendidikan yang lebih luas. Ia bercita-cita mampu memfasilitasi orang banyak, khususnya masyarakat miskin, agar teremansipasi ke arah yang menjadikan mereka semakin cerdas, adil, dan manusiawi.

Pradipto, dosen Arsitektur UGM, menuturkan pada OrcaFilms, “Romo Mangun adalah maestro arsitektur. Saya masih ingat bagaimana Romo Mangun melakukan advokasi untuk menciptakan kawasan pemukiman di bantaran Kali Code, bangunan non-permanen bagi masyarakat miskin kota di Yogyakarta.” Gagasan Mangun membangun kawasan Kali Code ditentang habis-habisan oleh banyak pihak. Tapi pemikirannya tidak mengambang di permukaan, hal inilah yang menjadikan kawasan pemukiman Kali Code tetap eksis hingga kini.

Romo Mangun lebur dalam dunia Kali Code sesungguhnya. Tertantang mendampingi anak-anak bantaran sungai menghadapi “alam yang keras”. Fery Timur Indriatno, staf Dinamika Edukasi Dasar, menegaskan perubahan yang terjadi sejak Romo Mangun hadir di sana. Stigma yang lekat pada lingkungan Code sebagai “komunitas dunia malam” lambat-laun memudar. “Romo sangat gelisah dan berpikir keras, bagaimana ia bisa mendekatkan hati dan pikirannya kepada masyarakat Kali Code. Bahwa pendidikan adalah hak bagi semua anak, itu adalah sebuah kewajiban,” ungkap Fery. “Namun bagaimana bisa mengartikulasikan gagasan Romo Mangun jika sistem pendidikan yang dibangun di Indonesia selama ini masih anti-orang miskin?”


Atensi Romo Mangun terhadap pendidikan semakin tajam saat melihat lingkungan tidak memberikan kesempatan pada anak-anak untuk mendapatkan pendidikan yang memadai. “Sistem pendidikan hanya cocok diterapkan di sekolah-sekolah. Bagaimana sistem itu bisa diberikan pada anak-anak lapisan bawah itu, bagaimana bisa cocok dengan lingkungan mereka, dan mampu mengubah jalan hidupnya ke arah yang lebih baik. Itu jadi perhatian Romo Mangun,” ujar Fery.


“Saya lihat perjuangan Romo Mangun itu mencoba meletakkan rakyat dalam posisinya yang tinggi”, kata Willy Pramudya, wartawan Warta Kota yang pernah bergelut langsung dengan alam pikiran Romo Mangun. Willy mendeskripsikan Mangun tidak pernah separuh hati dalam melangkah. “Saya mencoba tahu, mencoba mau tahu, ketika ada tugas untuk itu saya kerjakan sebagaimana Romo Mangun mengerjakan hal-hal generalis tapi secara mendalam,” ungkap Willy. “Saya mencoba mencontoh dengan kemampuan saya, saya ingin mengetahui dan menguasai banyak hal. Meskipun pasti tidak akan sebanyak beliau.”

Dan Willy selalu terkenang pesan Romo padanya, “Kamu mengerjakan sesuatu itu harus serius mendalami dan tuntas.”

Sementara itu dulu. Sudah saatnya saya belajar untuk selalu serius mendalami – dan tuntas.

Puri Kencana Putri / editor: rah. / Ilustrasi - foto-foto Widyo Utomo, Puspa Perwitasari, & Dominica Indah Nursanti

Monday, June 11, 2007

Looking for Youngster

Rekan-rekan Jobtreq melapangkan jalan kami menempuh proses scouting anak-anak muda yang dijajaki untuk menjadi bagian dari tim kecil OrcaFilms. Saat ini kehadiran Office Manager, Secretary, dan tambahan seorang Researcher/Interviewer sangat dibutuhkan di Orca Headquarter. Juga aktor dan aktris muda talented yang memiliki sensitivitas dan inteligensia memadai, serta tidak sinetronis. Selain itu OrcaFilms memperoleh assignment dari Metanewsroom untuk melakukan ”fit and proper test” para kandidat presenter program tv Persona dan How To Be.

Mencari Office Manager, Secretary, dan Researcher sesuai standar keinginan ternyata lebih ruwet dari yang dibayangkan. Mayoritas kandidat tidak berbahasa Inggris memadai, ada yang mengaku hobi membaca tapi tidak ingat satupun judul buku yang dibacanya, ada yang bersedia ditugaskan dalam tim yang melakukan produksi di perbukitan Dlingo yang tandus selama sebulan tapi minta ditemani pacarnya.

Hingga saat ini posisi Office Manager dan Secretary masih kosong. Tapi Dwi Fitria Sari yang sarjana hukum dari Universitas Atma Jaya serta Ranika Ayu Mayang Diwari yang lulus dari Ilmu Administrasi Negara UGM dengan indeks prestasi 3.59 memperlihatkan potensi yang layak dipertimbangkan, dan layak diberi kesempatan sebagai Researcher/Interviewer.


Aditya Novika dan Miranda Putri 5 - 9 Juni 2007 memantau screentest serta mewawancarai para kandidat aktor-aktris dan presenter. Untuk presenter pada fase pertama mereka melakukan presenting program dari opening, deskripsi, hingga closing sepanjang lima menit. Lolos dari sini kandidat memasuki fase interview di mana ia menentukan tema sendiri, kemudian berpartner dengan Vika, Putri, atau Theo Christanto sebagai interviewee mereka.

Dwi Fitria Sari yang sangat mengidolakan Oprah Winfrey mengusung tema AIDS serta trafiking dan Vika berperan sebagai wanita malang itu. Dian Syafriani, lulusan Teknik Industri Universitas Islam Indonesia yang memiliki vokal yang khas, memilih tema wanita korban gempa, sementara Edyar Prasaputra Utama, alumnus Hubungan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, berusaha tampil seperti Rosianna Silalahi, presenter berita pujaan hatinya, dengan menempatkan Theo sebagai Agung Laksono yang ”dipaksa” membahas hak interpelasi DPR.

Vika melayangkan pujian pada Edyar. ”Setelah sekian hari akhirnya ada yang betul-betul layak!” serunya sumringah. Menurut Vika, Edyar menguasai materi yang dibawakannya, menampilkan body moving yang tidak sia-sia, kata demi kata sangat terpilih, informatif sekaligus deskriptif, dan diucapkannya dengan mulus.
Melihat puji-pujian itu Putri menuliskan pesan pada Vika, ”Nggak punya pacar lho bo.”

Untuk aktor dan aktris kami tidak mengenal metode casting yang menuntut calon menangis meraung-raung atau menjadi orang gila. Kandidat disodori empat pilihan adegan yang difokuskan pada dialog intensif antar-dua orang dan akan dibawakan secara improvisasi. Misalnya pengakuan seorang suami pada istrinya bahwa ia memiliki affair atau harapan seorang kekasih pada pasangannya untuk tidak meninggalkannya saat orangtua mereka tidak lagi mentolerir perbedaan di antara mereka. Kandidat aktor akan berhadapan dengan Vika yang pernah dibesut Deddy Mizwar dan Rano Karno, para aktris head to head dengan Theo yang aktor Teater Garasi.

Sebagian besar kandidat nervous. Tapi sebagian lainnya mampu mengatasinya, malah ada yang sanggup membalikkan suasana menjadi menyegarkan. Bambang Priambodo misalnya, menunjukkan spontanitas yang mampu mengimbangi keunggulan teknik yang dimiliki Vika. ”For a first-timer, he doesn’t show nervousness at all,” tulis Putri. Laki-laki Pekalongan ini juga memamerkan keahliannya menirukan suara Donald Duck. Mudah-mudahan kelak OrcaFilms dipercaya DreamWorks mengerjakan sequel Shrek, Mbang.

Sementara Lilik Dina Lestari yang sempat ”diragukan” justru tampil tanpa beban dan memaksa mereka yang menyaksikan tak sanggup menahan tawa. Dalam report-nya Vika dan Putri menulis jujur, ”Lucu banget!!”. Pada tahap interview jawaban gadis Pacitan yang jujur, serius, dan lugas itupun membuat tertawa.
”Berapa fee yang Mbak Dina bayangkan kalau Mbak kami ajak main film?” tanya Putri.
”Rata-rata UMR Jogja,” jawab Dina. ”Enamratus-dualima Mbak ya?”

Red.

Wednesday, June 6, 2007

Exploring Bantul


Terik matahari mulai memudar tapi Didik Wirawan malah “salah alamat” saat melanjutkan observasi kesenian tradisional di Bantul. Seharusnya ia mendarat di Dusun Klisat tapi keliru koordinat sehingga meleset ke dusun tetangga yang bersebelahan. Didik memang menemukan kantong seni di dusun itu tapi paguyuban seni gejog lesung yang beberapa tahun lalu memperoleh pendampingan dari Didik Nini Thowok dan pernah dikunjungi Emil Salim ini tidak termasuk dalam daftar yang dirilis Tim Cemeti – partner LP3Y/Ford Foundation di bidang kesenian.


Meski demikian obrolan dengan Bagong Puswanto, salah satu pilar lestarinya seni lesung, membantu Didik memetakan perkembangan akar kesenian tradisional di wilayah Bantul. Dusun Nangsri misalnya, identik dengan seni lesung. Bersama seluruh elemen dusun Bagong mengembangkannya dengan menambahkan ensambel tarian yang dilakukan para wanita dan mengimbuhkan gerakan-gerakan menyerupai senam yang menurutnya bermanfaat untuk ibu hamil. Sementara tetangga sebelah, Dusun Klisat, melestarikan seni srandul yang konon merupakan moyangnya ketoprak.

Usai mengupas seni lesung Didik memutuskan untuk tidak menyeberang ke Klisat tapi mengeksplor wilayah lain yang memang belum disentuhnya. Ia bergerak menuju Dusun Warungpring di Kecamatan Bambanglipuro. Sore itu mobilnya menjadi sangat kumuh, kertas-kertas dari peta sampai bundel data berserakan di dashboard, jok, sampai karpet kabin tengah. Didik berusaha melakukan “penebusan” dengan bertindak taktis setelah sehari sebelumnya membiarkan risetnya berlangsung secara bertele-tele, tidak terarah, dan tidak komprehensif. Itu sebabnya ia melepas Klisat karena di daftar resmi tertulis seni klothekan, bukan srandul, tapi warga setempat malah berkerut-kerut dahinya ketika ditanya mengenai klothekan.

Dengan solar di tanki yang kian menipis, garis wajah menegang, tegukan teh botolan dan hisapan rokok tak berkesudahan Didik tiba di Warungpring tanpa kesasar. Hanya sempat celingak-celinguk mencari arah yang tepat di pertigaan dusun yang dibatasi area pemakaman. Warga Dusun Warungpring secara turun-temurun terbiasa memainkan jathilan, ketoprak, dan mocopatan. Namun melihat kondisi dusun di mana kerusakan berat akibat gempa 27 Mei 2006 mencapai 98% timbul pertanyaan mendasar, apakah mereka masih sanggup berkesenian?

Sayang sore itu Didik gagal bertemu Sukempi, ketua pemuda yang juga pemain ketoprak dan salah satu penggerak kesenian tradisional Warungpring. Didik sempat mengobrol dengan beberapa warga, sembari membuat appointment untuk kembali lagi esok, dan mengamati aktivitas sosial-ekonomi yang denyutnya sudah terasa. Dari sini Didik optimis kesenian tidak mati di dusun ini meskipun menurut seorang warga mereka melego satu set piranti karawitan untuk membantu pembiayaan pembangunan kembali pemukiman yang rusak parah.

Cahaya matahari mulai kekuningan. Didik melesat ke Kadisoro, Kecamatan Pandak. Beranjak dari Warungpring ke Kadisoro rasanya seperti membelah bumi. Waktu kian mepet, Didik menargetkan observasi tuntas sebelum maghrib tapi sejauh ini hasil yang dicapai belum memadai. Didik menuju wilayah yang belum dikenalnya tapi jalur yang ditempuhnya cukup efektif. Hanya saja hal ini tidak begitu saja melepaskan ketegangannya.

Saat mobil terhenti di persimpangan di tengah sawah dan Didik tidak bisa memastikan jalan mana yang tepat, Co-Researcher yang mendampinginya mengatakan, “Ke kiri.”
“Kok iso?”
“Seni gitar ada di daftar Cemeti nggak?”
“Ya nggak!”
“Ooh kalau ada pasti ke kiri.”
Si rekan menunjuk seorang pemuda gimbal yang tengah memainkan gitar di tepian sawah.
Senang rasanya melihat Didik tertawa.

Warga Dusun Kadisoro selama ini mengekspresikan keguyuban mereka melalui kegiatan seni, seperti reog dan wayang. Reog bahkan dimainkan oleh anak-anak dan para sepuh yang telah bercucu. Sebagaimana dialami wilayah lain di Bantul gempa menghacurkan rumah, lahan, juga properti kesenian mereka.



Warga menyarankan Didik menemui Gunardo. Nama ini juga tercantum di daftar Cemeti. Ini sekaligus merupakan konfirmasi bahwa person tersebut memang tokoh seni di tengah warga, bukan “pejabat yang ditunjuk”. Gunardo, seorang sesepuh Kadisoro, adalah pensiunan militer yang turut berperan merebut Irian dari tangan Belanda tapi kesenian menjadi bagian penting dalam hidupnya. Ia seniman serbabisa, dalang sekaligus pemain ketoprak dan artis keroncong. Putri sulungnya Sri Maryati menyelesaikan sekolah dengan beasiswa yang diperolehnya setelah menjadi juara tari bedoyo, Asih putri kedua kini dikenal sebagai penyanyi dangdut yang kerap tampil di layar tv lokal, dan si bungsu Tejo adalah seniman ukir dan penggiat kegiatan seni kalangan muda Dusun Kadisoro. Saat Didik mengobrol dengan Gunardo, Ningrum cucu Pak Gun tiba-tiba “terkapar” di depan tv, ia kelelahan usai pentas bersama kelompok drumband sekolahnya. Kehidupan seni yang tumbuh secara turun-menurun di tengah Keluarga Gunardo menjadi pondasi bagi warga Kadisoro untuk tidak menyerah menghadapi keadaan serba sulit melalui kesenian.

Matahari makin jingga. Malam Minggu yang lonely bagi Didik mulai membayangi. Tapi “storyline” dokumenter yang akan dibuatnya sudah tersusun di kepala. Saat keluar dari toilet pom bensin Didik tersenyum-senyum sendiri. Mungkin karena optimis dengan filmnya nanti. Mungkin karena tidak punya pacar dan dompetnya tipis.

Red.