Sunday, July 8, 2007

MAN FOR OTHERS : Semangat dari Surat Terakhir

oleh Ambara Muji Prakosa

“Peninggalannya yang paling berharga bagi kami,
warga Kedungombo, adalah semangat untuk tetap berjuang.” -
Trimo, Kedungombo 2007

TAHUN 1985 - 1986 pengukuran tanah untuk pembangunan waduk dimulai. Ratusan dusun sekitar Sungai Serang tidak tahu apa yang terjadi dan akan terjadi di wilayahnya. Tanpa informasi memadai, tanpa musyawarah, tiba-tiba mereka diusir dari tanahnya sendiri. Ini bukan cerita masa lalu. Hingga tahun 2007 ini enambelas dusun masih memperjuangkan haknya. Seiring bergulirnya waktu pemerintah negeri ini sudah berganti, generasi berganti, tapi masalah di Kedungombo tidak beranjak: rakyat terinjak kaki penguasa.

Penguasa Orde Baru melalui aparat-aparatnya yang sangat patuh tidak mensosialisasikan apalagi mengajak rembugan warga mengenai rencana pembangunan waduk. Megaproyek ini punya konsekuensi yang sama besarnya – warga harus meninggalkan tanah mereka. Tidak ada pilihan, mereka hanya bisa mengikuti kehendak yang kuasa. Ada uang ganti rugi atas lahan mereka, besarnya Rp 250,-/m2. Dengan uang sekecil itu mustahil membeli tanah dengan luas dan kualitas yang sama. Apalagi untuk membangun rumah dan mengolah lahan.

Tentu mereka tidak bisa menerima keputusan sepihak macam itu. Tapi penguasa cuma punya dua opsi: warga segera pergi dari area yang akan digenangi aliran sungai atau meladeni kekecewaan mereka dengan kekerasan. Lantas dimulailah episode-episode muram itu: teror, intimidasi, dan kekerasan fisik.

Mbah Jenggot, tetua Dusun Kedungpring, mendeskripsikan keadaan kala itu sebagai “perang tenan”. Tentara disebar di tiap jengkal tanah, semuanya menenteng bedil. “Di mana-mana didirikan pos tentara,” lanjut Trimo dari Dusun Mlangi. Tulus, warga Klewor, sulit masuk ke dusunnya sendiri karena tentara menempatkan pos jaga di pintu masuk. Setiap prajurit bersenapan.

Pemerintah membujuk warga untuk pindah dengan rayuan maupun paksaan. Warga yang buta huruf disuruh cap jempol dengan alasan untuk pembuatan KTP. Tapi ada yang sampai cedera tangan kirinya atau patah tulang ibujari. “Ono bocah di’kon cap jempol! Kan ndak masuk akal kuwi Mas!” Trimo tidak bisa melupakan kejadian-kejadian sepanjang tahun 1985 hingga 1994.

Kaum laki-laki yang melawan digencet secara represif. Mereka bersembunyi di hutan. Di rumah hanya ada para perempuan dan anak-anak. “Waktu itu saya masih kecil tapi sangat ingat hidup simbah, bapak dan ibu saya ngrekoso sekali,” ucap Rofi, pemuda Dusun Mlangi.

Bendungan selesai dibangun di wilayah pedesaan yang letaknya di lembah yang dikelilingi perbukitan, menyerupai bentuk mangkuk. Aliran Sungai Serang mulai diarahkan mengalirinya. Warga berangsur mengungsi ke rumah famili di luar Kedungombo, sebagian memilih transmigrasi gratis dari pemerintah, sebagian lagi bertahan. Derasan air dan intimidasi yang tidak kendor menjadikan keadaan makin kisruh, tidak semua harta-benda sempat diselamatkan. Pohon dan tanaman-tanaman bernilai ekonomis dibiarkan tergerus. Dusun Sarean lenyap sama sekali, secara geografis maupun demografis, tenggelam di dasar waduk. Seluruh penduduknya ditransmigrasikan ke Sumatera.

Air dengan cepat merendam Dusun Kedungpring yang posisinya persis di bawah bukit. Kedalamannya mencapai limapuluh meter. Rumah dan benda-benda di dalam dan sekitarnya ikut mengisi lambung waduk. Sementara warga Mlangi masih memiliki waktu untuk berbenah sebelum mengungsi karena letak dusun di dataran landai, tapi ketinggian air di sana lebih sulit diprediksi.

Mereka yang masih bertahan berlarian ke daerah yang lebih tinggi saat batas permukaan air makin tinggi. “Rumah yang belum dibanjiri air digotong ramai-ramai,” tutur Trimo. Saat air meninggi mereka lari lagi mencapai daratan yang lebih tinggi, terus begitu. “Sampai empat atau lima kali rumah kami pindah posisi. Tapi kalau terlambat ya dibiarkan.” Trimo mengatakan masyarakat tidak tahu batas tertinggi genangan air karena pemerintah tidak memberitahukannya. Dusun mereka tidak punah tapi letak wilayahnya bergeser ke atas.


Pakde dari Jogja
Dari tempatnya berbaring di sebuah rumah sakit di Semarang Romo Mangun sudah mengetahui apa yang terjadi di kawasan Kedungombo. Disampaikannya pandangan dan dukungannya pada warga melalui tulisan-tulisan di media massa. Ia belum pernah berada di Kedungombo tapi kepekaan dan empatinya menembus batasan ruang dan jarak. Akhirnya sejumlah anak muda yang concern terhadap masalah Kedungombo mengunjunginya. “Kami, anak-anak muda, merasa perlu orang kuat untuk mendukung atau malah menjadi motor perjuangan. Kami datangai Romo Mangun,” kenang Sita Darmayanti yang hingga saat ini masih mendampingi warga sekitar waduk. “Beliau sangat bersemangat.”

Hanya berselang dua hari sejak kunjungan Sita dan rekan-rekannya Romo Mangun dinyatakan sehat oleh dokter. “Mungkin semangat untuk membela kaum lemah yang menyembuhkan penyakitnya,” kata Sita.

Warga pernah mendengar nama Romo Mangun melalui radio. Sebagian mengenalnya dari berita-berita mengenai perjuangannya di bantaran Sungai Code. Selama ini banyak pihak memperlihatkan keberpihakan dan kepedulian pada warga Kedungombo tapi determinasi penguasa mematahkannya. Intensitas kabar angin Romo akan berada di tengah mereka menerbitkan cahaya penuh pengharapan di relung-relung batin.

Lepas dari rumah sakit Romo Mangun meluncur ke Dusun Kedungpring. “Orang asing tidak diijinkan masuk. Semua diperiksa di pos tentara. Jika tidak bisa berbohong jangan harap bisa masuk,” ujar Darsono. Romo Mangun ditemani seorang anak muda bernama Endro berusaha menerobos barikade. Endro menjadi penjual cangkul dan arit, Romo menyamar sebagai pakde salah seorang warga yang datang dari Jogja. Keduanya lolos.

Warga Kedungpring saat itu sudah mengungsi di sabuk hijau tanah Perhutani yang tingkat kemiringan tanahnya 40 derajat. Mereka membuat rumah seadanya seluas empat kali delapan meter, menggunakan bambu. Tingginya sekitar dua setengah meter, beratap alang-alang kering. Rumah ini dibagi menjadi dua bagian: untuk menusia dan kandang ternak seperti sapi, kambing, dan ayam.

Warga cukup rajin “mengunjungi” rumah lama mereka untuk memunguti benda-benda yang masih layak digunakan. Dengan cara menyelam. Itu sebabnya mereka mengganti atap alang-alang dengan genting dari rumah lama. “Supaya tidak kehujanan,” kata Mbah Citro, sesepuh Kedungpring yang mulai terlihat renta.

Romo Mangun meminta ijin Mbah Jenggot untuk membangun gubuk. Beberapa hari kemudian Romo mendiami gubuk bambu beratap terpal dan memulai gerakannya dengan mengalokasikan buku-buku bagi anak-anak. Anak-anak ini sudah tidak memiliki sekolah. Perhatian dari orangtua tidak lagi sempurna karena mereka disibukkan perkara ganti rugi dan kehidupan sehari-hari yang makin kompleks. Para laki-laki melanjutkan perjuangan mengupayakan hak mereka, kaum perempuan jatuh-bangun mencukupi kebutuhan hidup keluarganya.

Bersama para relawan muda Mangun mendirikan sekolah darurat di Kedungpring dan Mlangi. Mereka juga mengelola perpustakaan keliling yang lebih pas disebut “perpustakaan air”. Perpustakaan keliling tanpa roda tapi hilir-mudik dari satu dusun ke dusun lain dengan mengarungi permukaan waduk. Prinsip Mangun, anak-anak tidak boleh jadi bodoh, harus tetap belajar.

Para relawan mahasiswa, frater, suster, bruder dari Jogja, Surakarta, dan Salatiga menjadi guru mereka. Tapi anak-anak belajar dalam keadaan lapar dan rentan penyakit. Mangun segera mendatangkan bantuan makanan, obat-obatan, pakaian, dan seng untuk penutup rumah. Sekolah darurat ini berlangsung selama dua tahun sampai anak-anak diterima di sekolah terdekat.

Sepak-terjang Romo Mangun jelas menjadi pekerjaan ekstra aparat. Celah memasuki Kedungombo dipersempit, penjagaan diperketat, intimidasi dan teror digencarkan. Perjalanan darat makin sulit dan berbahaya. Petugas menangkap Romo Suyatno Hadiatmojo yang mendampingi Romo Mangun sejak awal dan menginterogasinya di koramil. Romo Mangun sendiri tak jarang berhadapan dengan moncong senapan.

Mangun menggunakan perahu drum tanpa dinding untuk menyusup ke wilayah Kedungombo dan mendistribusikan bantuan dari dusun ke dusun. Proses perakitan dilakukan di air karena kegiatan di darat beresiko diintai dan ditangkal aparat. Perahu drum dan perpustakaan keliling bergerak di tujuhbelas dusun: Kedungpring, Karang, Tremes, Klewor, Mlangi, Dondong, Pelembinatur, Plosorejo, Wonoharjo, Bulu, Ngeboran, Tawangsari, Sambirejo, Sarimulyo, Guyuban, Genengsari, dan Grinjingan. Aktivitas tidur, memasak, dan mandi bahkan dilakukan di perahu drum.

Pada awalnya setiap dusun berjuang sendiri, memperjuangkan kepentingan masing-masing, dan tidak saling mengenal satu sama lain. “Dulu saya tidak kenal orang Kedungpring tapi setelah Romo datang dan membantu, saya jadi kenal Pak Darsono dan teman-temannya,” kata Trimo. Secara tidak langsung Romo Mangun telah menyatukan ketujuhbelas dusun itu.

“Banyak sekali bantuan yang datang, kami tidak tahu dari siapa saja,” lanjut Darsono. “Mungkin teman-temannya Romo. Suster misalnya, dulu kami tidak pernah bertemu orang seperti suster, tapi kok rela membantu kami.” Pasokan bantuan kebutuhan pokok, serta pakaian dan pelayanan pengobatan, tidak mampu dicegah tangan-tangan kekuasaan.

Romo melatih warga merancang strategi dalam menghadapi tantangan dan mendorong mereka menempuhnya dengan berani tapi cermat dan telaten. Mereka harus berangkat sendiri ke Semarang dan Jakarta untuk menjaring dukungan. Romo yang memberikan sangu. “Warga sini tidak ada yang punya uang. Kami tahu Romo juga bukan orang kaya. Tapi Romo memberikan dana,” cerita Trimo. “Tidak tahu uang dari mana. Mungkin dari teman-temannya Romo seperti Pak Aditjondro.” Trimo yang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari kini membuka warung kecil-kecilan di rumahnya juga menyebutkan nama Gus Dur, Arief Budiman, dan Permadi.

“Kami disuruh datang sendiri ke tempat-tempat dan orang-orang yang disebutkan Romo Mangun,” imbuh Trimo. “Kami orang desa diterima hangat di LBH Jakarta dan LBH Semarang.” Pulang dari Jakarta dan Semarang mereka memberikan laporan pada Romo. Romo Mangun bersama warga kemudian menyusun strategi selanjutnya. “Karena itu sekarang saya ngerti hukum, politik, dan cara-cara menghadapi pemerintah,” Trimo menutup kenangannya dengan bangga.

Butuh energi panjang dan waktu bertahun-tahun dalam menempuh proses hukum. Setelah melewati duapuluh-satu kali persidangan kasasi warga Kedungombo dimenangkan Mahkamah Agung (MA). Tapi tiga bulan kemudian sukacita warga dimentahkan sendiri oleh MA. Proses Peninjauan Kembali (PK) memutarbalikkan keadaan. Warga dinyatakan kalah. “Tuntutan warga tertahan lebih dari setahun dengan alasan dalam proses tapi sekarang mereka bisa ambil keputusan berbeda dalam tiga bulan!” sergah Darsono sengit.


Bukan Cerita Kenangan
Akhir Juni lalu saat rekan-rekan OrcaFilms lainnya melanjutkan eksplorasi di Grigak, Sita Darmayanti mempertemukan saya dan Benedictus Dian Kristiawan dengan dua perwakilan warga Kedungombo, Trimo dan Basirun. Kami berdua mengobrol dengan mereka, Sita, dan Romo Yatno di parokinya di Somohitan, Turi. Satu jam kemudian saya dan Kris duduk di jok belakang L300 bersama tumpukan pakaian sisa bantuan gempa yang akan dibagikan pada warga Kedungombo. Perjalanan dari kaki Merapi di kawasan Sleman hingga Kedungombo ditempuh sepanjang tiga jam.

Basirun, 47 tahun, warga Mlangi, tidak pernah mengenal Romo Mangun secara langsung tapi sekarang merasa sangat dekat dengannya. “Waktu itu saya masih muda, belum tahu apa itu perjuangan,” ujarnya.

Waduk Kedungombo memiliki beberapa peran bagi masyarakat Jawa Tengah. Pertama, irigasi. Aliran dari waduk mengairi 70.000 hektar sawah. Kedua, suplai air bersih yang jangkauannya hingga Semarang. Ketiga, PLTA berkekuatan 200.000 megavolt. Namun tidak satupun dari ketiga fungsi itu yang bisa dinikmati warga korban pembangunan waduk. Waduk sudah beroperasi tahun 1990 tapi listrik baru menerangi Mlangi tahun 2000, inipun nyantol di desa sebelah. Masyarakat Kedungpring tetap kesulitan air bersih saat kemarau. Sawah tetap garing, tanpa pengairan dari waduk.

Penyelesaian ganti rugi belum tuntas sampai saat ini. Ada enambelas dusun yang nasibnya terkatung-katung. 57 Kepala Keluarga di Dusun Mlangi belum memiliki tanah. Mereka menempati lahan Perhutani. Mata pencaharian tergantung pada pasang-surutnya waduk. Jika air waduk surut di musim kemarau warga kembali ke ladang mereka yang lama, mengolah tanah dan bertani. Hal ini mengandung konsekuensi seperti yang terjadi tahun 2005. Saat itu padi sudah siap dipanen, tiba-tiba air menggelontor kembali ke waduk. Pemerintah tidak memberikan kesempatan mereka untuk menikmati hasil panen.

Persoalannya, sulit mencari alternatif penghasilan lain. Penduduk sekitar waduk tetap bercocok tanam dari sawah pasang-surut. Padahal musim kering berkepanjangan selalu mengancam. Tanah bisa digarap tapi tidak didukung pengairan memadai. Mereka tidak bisa merasakan fungsi waduk sebagaimana para petani di Demak, Salatiga, Kudus, dan Semarang.

Sejak adanya waduk warga memiliki ketrampilan sebagai nelayan. Tapi kini jumlah ikan yang bisa ditangkap makin sedikit. Pemikiran untuk melakukan budidaya ikan air tawar terhalang modal. Dusun yang letaknya di sekitar pintu air agak beruntung. Di sana air tidak pernah surut, maka kegiatan mencari dan mengolah ikan bisa jadi andalan, meskipun hanya menjadi buruh harian di usaha peternakan ikan. Memang ada warga yang menjadi peternak tapi skalanya kecil-kecilan karena modalnya juga pas-pasan.

Di tengah usaha tak kenal lelah dalam memperjuangkan hak tanah dan ganti rugi pagi-pagi sekali warga menggarap ladang di sisi waduk yang surut, sebagian lainnya menceburkan tubuh di genangan air, menangkap ikan menggunakan branjang serta jala tebar.

“Orang itu sudah punya rejeki masing-masing, wong kene trimo wae. Sing penting tetep urip, sehat dan berjuang terus,” tutur Trimo. “Peninggalan Romo yang paling berharga bagi kami, warga Kedungombo, adalah semangat untuk tetap berjuang.”

Pardjo, 24 tahun, seorang pemuda Mlangi, masih kecil saat Romo Mangun mati-matian membela warga Kedungombo di tengah mereka. “Tapi semua kaum sepuh bercerita tentang Romo. Saya tahu dia wong apik,” kata Pardjo.

Rofi yang mengantarkan kami mengelilingi petilasan Dusun Mlangi mengatakan, “Saya tahu Romo Mangun dari cerita orangtua. Romo tidak peduli agama orang yang ditolong.” Pemuda 30 tahun yang aktif di kegiatan masjid dan cukup lama menempuh ilmu di sebuah pesantren di Jawa Timur ini termasuk generasi muda yang melanjutkan perjuangan warga Kedungombo.

“Waktu Romo seda, saya merasa terpanggil untuk berjuang,” imbuh Basirun. “Saat itu saya diajak Pak Trimo tahlilan di Jogja. Dari situ sampai sekarang saya aktif di Paguyuban Warga Kedungombo.” Warga sekitar waduk memanjatkan doa dan tahlilan hingga seribu hari wafatnya Romo Mangun.



Sebelum meninggal YB. Mangunwijaya mengirim surat untuk warga Kedungombo. Semangat yang diwariskan melalui surat itulah yang mengantarkan Darsono dan warga Kedungpring pada tahun 2002 akhirnya mendapatkan hak atas lahan seluas 17,5 hektar. Semangat itu juga yang menjadikan warga Kedungpring tidak menyurutkan langkah untuk mengiringi perjuangan warga 16 dusun lainnya yang belum memperoleh haknya.

Saat kami berdua masih berada di Kedungombo dan Suryo Wibowo bersama Ade Gunawan tinggal beberapa hari di tengah warga sekitar Pantai Grigak, Adam Herdanto dan Anastasya Putri meluncur ke kediaman KH. Abdul Muhaimin di Kotagede dan Y. Suyatno Hadiatmojo Pr. di Turi. Kyai Muhaimin dan Romo Yatno sama-sama berjuang bersama Mangun di Kedungombo dan terus melanjutkannya sepeninggal Romo. Keduanya sepakat, “Karya Romo Mangun bagi kami semua adalah bagaimana memikirkan dan berbuat untuk sesama.”

“Surat terakhir Romo Mangun jadi pegangan kami untuk terus berjuang bersama,” tegas Darsono.

Photos by Ambara Muji Prakosa & B. Dian Kristiawan

Wednesday, July 4, 2007

MAN FOR OTHERS : Meletakkan Pondasi

oleh Benedictus Dian Kristiawan



R
uangan kelas terasa lengang. Kursi-kursi dalam keadaan terbalik di atas meja. Beberapa orangtua menunggu giliran dipanggil ke dalam, untuk memperoleh laporan hasil belajar anaknya. Anak-anak yang turut-serta berkumpul dengan rekan-rekannya yang tinggal di lingkungan sekitar. Sebagaimana siswa sekolah lainnya mereka pasti tegang tapi anak-anak SD Mangunan tetap tertawa-tawa.

“Di rumah Sammy harus terus dilatih keberaniannya ya Bu,” pesan seorang guru pada orangtua Sammy. Sammy sendiri memilih bermain di luar kelas tapi kemudian berusaha mengintip ke dalam.

Rini, salah seorang orangtua, mengungkapkan SD Mangunan adalah alternatif sekolah dasar yang ideal. “Anak diajakarkan menjadi berani dan bertanggung-jawab. Belajar menghadapi sekaligus memecahkan masalah sendiri,” katanya. Rini yang berasal dari kalangan dengan perekonomian memadai ini memasukkan kedua anaknya di SD Mangunan.

Kemandirian memang fokus utama kurikulum yang dimatangkan Romo Mangun. Anak tidak hanya menghadapi bacaan di dalam ruangan melainkan bersentuhan langsung dengan lingkungan sekitar mereka. “Mereka belajar langsung dari kehidupan sehari-hari,” imbuh Rini. “Belajar tentang erosi tanah misalnya, anak-anak diajak ke sungai di dekat sekolah dan ditunjukkan proses terjadinya erosi.”

Raportan di SD Mangunan berbeda dengan sekolah dasar lain. Tiap anak memperoleh dua buku laporan berbeda. Satu buku merupakan laporan yang merujuk kurikulum nasional, satu lagi adalah raport versi Mangunan. Selain tercantum nilai juga terdapat catatan evaluasi belajar siswa bersangkutan. Kekurangan apa yang harus diperbaiki, kelebihan apa yang ia miliki. Si anak dan orangtuanya jadi lebih memahami hal-hal apa saja yang harus dikembangkan serta bimbingan seperti apa yang harus diberikan.

SD Mangunan tidak mengenal ranking. Murid tidak dipacu untuk berkompetisi dengan menghimpun angka demi angka. Dengan sistem angka mereka yang rankingnya rendah akan mendapat cap bodoh, tidak berkualitas, dan layak terdegradasi (tidak naik kelas). Pola semacam itu menjadikan mereka yang kreatif tapi lemah dalam pelajaran formal dianggap nakal, anak yang pendiam dinilai tidak berkembang. Perkembangan mereka jadi disekat-sekat, dibatas-batasi.

Guru tidak menempatkan diri sebagai sosok yang mahatahu tapi pendamping dan fasilitator. Guru adalah orangtua sekaligus sahabat anak. Hal ini pula yang diharapkan dilakukan para orangtua, menjadi teman si anak, sehingga kedekatan, keterbukaan, dan pengertian terjalin sejak dini.

Titik paling penting dari proses panjang pendidikan terletak pada pondasinya, pada tahap paling dasar. Karakter anak ditumbuhkan di fase ini. Inilah yang dirintis Romo Mangun dan kini dilanjutkan para guru SD Mangunan. Pendidikan adalah hak dasar setiap manusia yang akan menjadikannya sebagai pribadi yang bermartabat.

“Kalau libur seperti sekarang ini anak-anak malah ingin segera kembali ke sekolah,” kata Rini. “Karena di sekolah mereka selalu menemukan hal baru,”

Photos by Suryo Wibowo