Wednesday, June 27, 2007

MAN FOR OTHERS : Melanjutkan Mangun

oleh Suryo Wibowo



Perjalan
an dari kantor di Gunungketur melewati Banguntapan, lurus ke Imogiri, naik ke Panggang, melintasi Wiloso, hingga tiba di Dusun Karang panjangnya 46 kilometer. Kondisi aspal dari Imogiri ke Panggang cukup baik dan bisa dilewati segala jenis kendaraan, hanya saja medannya naik-turun dan berliku-liku. Kewaspadaan ditingkatkan begitu memasuki jalur Panggang-Dusun Karang. Jalannya sempit dan rusak.

Di Karang telepon genggam saya kehilangan sinyal. Rekan lain juga mengalami hal yang sama. Kartu Telkomsel yang digunakan salah seorang putra Pak Kirno bisa mendeteksinya meskipun tidak stabil. Sementara listrik sudah bisa dinikmati warga Karang. Tiap rumah rata-rata memiliki kapasitas daya 450 watt. Tapi dalam perekonomian sehari-hari warga masih menggunakan sistem barter, dengan harga pasar sebagai patokannya. Misalnya harga beras di pasar Rp 5.000 per kilo, jagung Rp 2.500 setiap kilonya, maka satu kilogram beras bisa diperoleh dengan ditukar dua kilo jagung.

Pak Kirno baru saja terpilih sebagai kepala dusun ketika Romo Mangun pertama kali menyentuh dusunnya tahun 1986. Wasmi, keponakan Pak Kirno, merupakan “perantara” Mangun dan warga sekitar Grigak. Wasmi yang dulu PKL di bantaran Sungai Code kini bekerja di Purworejo dan setiap akhir pekan mudik ke Karang.

Sebelum Mangun mengenal Grigak warga yang tinggal di kawasan kering ini tidak mengenal tandon. Untuk mencapai sumber mata air mereka harus berjalan kurang-lebih empat kilometer, menyusuri jalan setapak di tengah hutan, disusul tepian karang yang curam. Saat pertama berkunjung Romo langsung memutuskan bermalam di Pantai Grigak, beratapkan deklit atau terpal yang dipinjam dari Pak Kirno. Di sana Romo Mangun mengamati kegiatan mengambil air dilakukan warga sejak pukul tiga dini hari.


Untuk sampai ke sumber warga harus menghadapi patahan yang terdapat di tepian tebing dan menuruninya dengan tangga bambu. Tangga itu jelas berbahaya dan mudah rusak. Karena selalu bersentuhan dengan air laut tangga menjadi basah dan licin, membahayakan siapapun yang menggunakannya, apalagi jika dilakukan sembari memikul air. Gempuran ombak mudah menghancurkan material tangga yang ringkih, gelombang pasang rentan menyeretnya ke lautan liar. Sumber mata air itu sendiri sering terkontaminasi air laut saat pasang.



Romo membangun “rumah” tak jauh dari sumber, berbahan bambu dan atap terpal. Sejak saat itu ia lebih sering dan lebih lama tinggal di Grigak. Biasanya seminggu, sepekan kemudian berada di Jogja, seminggu berikutnya di Grigak lagi. Mangun kemudian membeli tanah seluas delapan hektar. Didirikannya rumah yang lebih kokoh di tepian tebing. Bersama warga dibangunnya instalasi yang memudahkan warga mengakses air di sumber.

Mereka mewujudkan sebuah tembok menyerupai benteng untuk menghalangi air laut menerobos ke sumber. Materialnya batu dan beton setebal limapuluh centi, tingginya delapan meter. Sedangkan ujung patahan satu ke patahan lain dihubungkan jembatan dari beton. Tangga disusun dari batu-batu karang dan disemen. Mangun melengkapi instalasinya dengan konstruksi pipa PVC, bak/tandon air, serta pompa manual bermerk Dragon. Akses warga untuk memenuhi kebutuhan air dipermudah dan tidak lagi membahayakan.



Mangun dan warga yang sebagian besar adalah petani singkong dan jagung saling berbagi pengetahuan mengenai kesehatan, pertanian, pendidikan, serta kerukunan. Mereka menerapkan arahan Mangun untuk menggunakan sistem tumpangsari, menanam berbagai tanaman di satu lahan, serta pengukuran penebaran bibit agar kualitasnya terjaga.

Dari Romo Mangun warga juga belajar membuat wc. Sebelumnya mereka terbiasa buang air di lorong-lorong hutan. Dengan adanya wc dan tempat penampungan, kotoran tidak tersebar ke mana-mana, meminimalkan potensi jadi ladang penyakit.

Sebagaimana di wilayah karyanya yang lain Mangun dekat dengan anak-anak. Jika ada anak membutuhkan tambahan uang sekolah ia menyampaikannya sendiri ke Romo Mangun. Mangun tidak keberatan membantu, “Asal tidak untuk jajan”, pesannya.

Mangun bukan malaikat yang turun ke Grigak. Satu kebiasaannya saat menyendiri di pondoknya adalah menulis. Pak Kirno tiap hari ke sana untuk mengantarkan makanan atau sekedar menjenguk. Rutinitas Pak Kirno ini “menyelamatkan” jiwa Mangun. Suatu saat Mangun ternyata terserang malaria. Pak Kirno memergokinya tapi Romo yang keras hati menolak dibawa ke rumah sakit. Diam-diam Pak Kirno mendatangkan dokter ke rumahnya di tengah hutan. Mereka juga menolongnya saat jatuh terpleset dari tebing. Delapan orang warga membuat amben, tempat tidur, dari kayu dan bambu-bambu yang ditebas di hutan. Mereka bergantian mengusungnya melewati medan yang terjal dan licin. Sampai di Dusun Karang Romo dilarikan ke Panti Rapih menggunakan mobilnya dan sopir dadakan. Pada tahun 1994 seluruh warga Dusun Karang merayakan ulang tahun Mangun di kediamannya di atas tebing.

Agak sulit untuk merumuskan atau berspekulasi apa yang ada di benak Mangun saat memutuskan meninggalkan Grigak. Selain soal kesehatan barangkali sudah waktunya ia berkarya di tempat lain. Mungkin juga masyarakat sekitar Grigak sudah lebih mandiri. Setahun kemudian rumah kayu di tebing dibongkar. Seluruh material diangkut kembali ke Jogja. Kepergian Mangun menyertai tidak berfungsinya lagi pompa Dragon karena aus. Tapi Mbak Wasmi berusaha memahaminya, “Romo tidak ingin ada ketergantungan.”

Sepeninggal Mangun dan sesudah pompa rusak warga kembali mengambil air di sumber. Warga pernah memperoleh mesin pompa diesel dari satu institusi tapi rusak. Pipa sisa-sisa kerja Mangun juga sudah hancur diporak-porandakan gelombang. Tapi setidaknya jalan serta jembatan yang dirintis Mangun masih layak digunakan.


Namun gempa 27 Mei 2006 meremukkan jembatan yang dibangun Mangun. Satu tahun kemudian gelombang pasang dahsyat yang berlangsung selama tiga hari (17-19 Mei 2007) menyempurnakan kehancurannya. Warga kini sulit menjangkau mata air. Masih mungkin dengan mlipir, menelusuri tepian karang, tapi lebarnya hanya sepuluh centi dan sangat licin.


Photos by Suryo Wibowo, Ade Gunawan, & Ambara Muji Prakosa