Wednesday, July 4, 2007

MAN FOR OTHERS : Meletakkan Pondasi

oleh Benedictus Dian Kristiawan



R
uangan kelas terasa lengang. Kursi-kursi dalam keadaan terbalik di atas meja. Beberapa orangtua menunggu giliran dipanggil ke dalam, untuk memperoleh laporan hasil belajar anaknya. Anak-anak yang turut-serta berkumpul dengan rekan-rekannya yang tinggal di lingkungan sekitar. Sebagaimana siswa sekolah lainnya mereka pasti tegang tapi anak-anak SD Mangunan tetap tertawa-tawa.

“Di rumah Sammy harus terus dilatih keberaniannya ya Bu,” pesan seorang guru pada orangtua Sammy. Sammy sendiri memilih bermain di luar kelas tapi kemudian berusaha mengintip ke dalam.

Rini, salah seorang orangtua, mengungkapkan SD Mangunan adalah alternatif sekolah dasar yang ideal. “Anak diajakarkan menjadi berani dan bertanggung-jawab. Belajar menghadapi sekaligus memecahkan masalah sendiri,” katanya. Rini yang berasal dari kalangan dengan perekonomian memadai ini memasukkan kedua anaknya di SD Mangunan.

Kemandirian memang fokus utama kurikulum yang dimatangkan Romo Mangun. Anak tidak hanya menghadapi bacaan di dalam ruangan melainkan bersentuhan langsung dengan lingkungan sekitar mereka. “Mereka belajar langsung dari kehidupan sehari-hari,” imbuh Rini. “Belajar tentang erosi tanah misalnya, anak-anak diajak ke sungai di dekat sekolah dan ditunjukkan proses terjadinya erosi.”

Raportan di SD Mangunan berbeda dengan sekolah dasar lain. Tiap anak memperoleh dua buku laporan berbeda. Satu buku merupakan laporan yang merujuk kurikulum nasional, satu lagi adalah raport versi Mangunan. Selain tercantum nilai juga terdapat catatan evaluasi belajar siswa bersangkutan. Kekurangan apa yang harus diperbaiki, kelebihan apa yang ia miliki. Si anak dan orangtuanya jadi lebih memahami hal-hal apa saja yang harus dikembangkan serta bimbingan seperti apa yang harus diberikan.

SD Mangunan tidak mengenal ranking. Murid tidak dipacu untuk berkompetisi dengan menghimpun angka demi angka. Dengan sistem angka mereka yang rankingnya rendah akan mendapat cap bodoh, tidak berkualitas, dan layak terdegradasi (tidak naik kelas). Pola semacam itu menjadikan mereka yang kreatif tapi lemah dalam pelajaran formal dianggap nakal, anak yang pendiam dinilai tidak berkembang. Perkembangan mereka jadi disekat-sekat, dibatas-batasi.

Guru tidak menempatkan diri sebagai sosok yang mahatahu tapi pendamping dan fasilitator. Guru adalah orangtua sekaligus sahabat anak. Hal ini pula yang diharapkan dilakukan para orangtua, menjadi teman si anak, sehingga kedekatan, keterbukaan, dan pengertian terjalin sejak dini.

Titik paling penting dari proses panjang pendidikan terletak pada pondasinya, pada tahap paling dasar. Karakter anak ditumbuhkan di fase ini. Inilah yang dirintis Romo Mangun dan kini dilanjutkan para guru SD Mangunan. Pendidikan adalah hak dasar setiap manusia yang akan menjadikannya sebagai pribadi yang bermartabat.

“Kalau libur seperti sekarang ini anak-anak malah ingin segera kembali ke sekolah,” kata Rini. “Karena di sekolah mereka selalu menemukan hal baru,”

Photos by Suryo Wibowo