Monday, August 6, 2007

MAN FOR OTHERS : Kado Perkawinan Putri Pak Dukuh

Oleh Suryo Wibowo


Riset dan observasi di wilayah Pantai Grigak kali ini berbeda dengan aktivitas kami di sini sebelumnya. Pak Kirno, dukuh Dusun Karang yang merupakan pemukiman terdekat dari Grigak, akan menikahkan Yatini putri bungsunya. Ijab akan berlangsung siang esok dan malamnya digelar pementasan wayang kulit semalam suntuk. “Lakonnya saya tidak tahu dan baru tahu setelah wayang dimulai,” kata Pak Dukuh di sela hiruk-pikuknya mempersiapkan segala hal dan menemani para tamu. Sehari sebelum pesta pernikahan, nunut Theresia Koeswardini dan Adrianus Suryadi SJ, aku datang membawa still camera yang lebih mutakhir dan rekan Ade Gunawan dengan kamera dari rental, serta backpack yang lebih gendut dari biasanya karena memang akan menginap beberapa malam.

Sejumlah lelaki bersama-sama mendirikan tenda terpal, menaungi pelataran semen. Asap mengepul dari pintu dapur. Kursi-kursi kaleng ditata sedemikian rupa di dalam, tapi menyisakan separoh ruangan untuk menggelar tikar sebagai tempat makan siang bersama nanti. Di samping pelataran yang ditinggikan dibangun sebuah panggung dari kayu dan bambu. Dipaku pada titik-titik yang tepat dan disatukan oleh ikatan tali kulit bambu, panggung berdiri kokoh. Seperangkat gamelan ditempatkan di atasnya.

Beberapa lelaki duduk di sekitar meja kayu yang menghitam karena minyak dan kain lap yang entah sudah berapa kali diusapkan. Di meja terdapat sebuah kotak kecil berisi guntingan kertas buram, beberapa alat tulis, dan sewadah lem kertas. Di belakang mereka beberapa bakul dari anyaman bambu yang diikat dengan selendang warna-warni diletakkan di sebuah dipan. Seorang ibu berkaos kuning, mengenakan rok lusuh dan ikat kepala dari berenda yang sama kumalnya dengan rok merahnya mendekat. Ia membawa sebuah bakul di punggungnya, dikaitkan selendang merah keunguan bermotif batik.

Wanita itu dan para lelaki muda di sekitar meja saling bertegur-sapa. Dilepaskannya bakul dari ikatan selendang, diletakkannya di meja. Salah seorang lelaki mengambil secarik kertas, menuliskan nama wanita itu, dusun tempat tinggalnya, kemudian menandai kertas dengan dua buah lingkaran serta sederet huruf setelah membuka dan melihat isi bakul yang dibawa sang tamu. Guntingan kertas itu diolesinya dengan lem, ditempelkan di tepian atas bakul. Setelah proses itu selesai si wanita segera berjalan meniti ponton yang terbuat dari ranting kayu jati, sengon, serta bambu, dan disusun menanjak ke arah pintu dapur di sisi kiri rumah Pak Dukuh.

Dapur gelap dan penuh asap. Sampah plastik bercampur ceceran kulit bawang merah dan bawang putih teronggok di lantai tanah. Sebuah tungku kayu dan dua buah panci terlihat di sudut. Wanita tadi menghampiri seorang pria yang duduk di pojok dapur menghadap sebuah ember dan keranjang anyaman bambu berukuran besar, berisi beras. Bakul si wanita dibuka, sebuah botol kaca dengan lilitan kawat di dekat ujungnya dikeluarkan. Minyak goreng.

Seorang lelaki lain segera menuangkan isi botol ke jirigen besar berwarna biru di belakangnya. Sementara si pria yang duduk di depan keranjang besar mengeluarkan puluhan tempe dalam bungkus daun jati, beberapa kemasan mie telur, menuangkan beras ke ember takaran, kemudian menumpahkannya ke keranjang besar itu. Saat si pria penunggu keranjang melakukan pencatatan di sebuah buku tulis tipis wanita berstelan kuning-merah itu tersenyum padaku. Tak lama kemudian ia beranjak, bergabung dengan tetangga lain di luar sana, tanpa membawa bakulnya yang telah kosong.

Asumsiku, begini rupanya wujud sumbangan perkawinan di sini. Ah bukan sumbangan, tapi kado. Seseorang yang telah sepuh yang berada di dekatku membenarkan asumsi ini. Akar solidaritas masih terikat erat di wilayah Karang. Saat warga mempunyai hajatan seperti kelahiran seorang anak, sunatan, perkawinan, dan kematian, tetangga dekat maupun jauh akan datang, membawa berbagai bahan makanan yang akan digunakan bersama.


Kegiatan memasak dan mempersiapkan segala hidangan tidak tertampung di dapur Pak Dukuh yang luas. Di sisi kiri gang menuju rumah Pak Dukuh sejak pagi terlihat para wanita mengolah daging. Para lelaki yang telah berpeluh memindahkan perabot rumah sampai membangun panggung sempat menghilang, menengok ladang dan ternaknya, tapi kemudian muncul kembali, beberapa di antaranya dengan amplop di tangan.

Di dapur bakul berselendang yang telah kosong diisi nasi yang sudah ditanak, penuhnya sesuai “kado” yang tadi diberikan. Mie goreng dihias tempe yang digoreng agak terlalu gosong disertakan sebagai sayur dan lauk, dimeriahkan sekantong plastik krupuk merah-putih.

Tidak seperti pesta perkawinan yang selama ini aku hadiri aku tidak melihat bayangan perhitungan “balik modal” di balik pernikahan ini. Tidak terlihat pula tamu yang membicarakan hal-hal basi dan tertawa-tawa fals sembari mencicipi aneka hidangan, sesudah itu menguap entah ke mana. Itu sebabnya Pantai Grigak sepi dari pemancing hari ini – dan untuk dua-tiga hari selanjutnya.

Selamat menempuh hidup baru!

Photos by Suryo Wibowo