Sunday, May 27, 2007

Good Film Like Good Friend


Personel Orcafilms Didik Wirawan terpilih sebagai salah satu peserta Workshop Peliputan Mendalam/Investigasi Program Pemulihan Paska-Gempa Bantul yang diselenggarakan LP3Y (Lembaga Penelitian, Pendidikan & Penerbitan Yogyakarta) dan Ford Foundation. Workshop dibuka 15 Mei 2007 silam dan akan berlangsung selama sebelas bulan – di mana setiap peserta diwajibkan melakukan peliputan mendalam secara episodik di wilayah Bantul dan mendeskripsikannya di media masing-masing. Dari tigabelas peserta workshop terdapat wakil dari harian Kedaulatan Rakyat (KR), Media Indonesia, Bernas, Radio Unisi, Radio VOA, majalah Peraba, JogjaTV, dan In-Docs.

Untuk episode pertama Didik merencanakan memproduksi film dokumenter mengenai kesenian lokal. Kesenian tradisional seperti ketoprak menurutnya bisa menjadi ekspresi paling jujur masyarakat mengenai keadaan mereka. Bagaimana mereka menghadapi musibah gempa 27 Mei 2006 yang merenggut limaribu jiwa dan meluluhlantakkan rumah serta lingkungan mereka, bagaimana menyikapi bantuan yang seolah tidak berkesudahan tapi tidak merata dan kadang tidak tepat sasaran, bagaimana mengkritisi sikap mental yang menggantungkan diri pada pihak lain, bagaimana mereka bahu-membahu untuk bangkit bersama.

Didik memperdalam “tesis”-nya dengan mengikuti workshop yang diselenggarakan Yayasan Cemeti untuk memotivasi warga Bantul membangkitkan kembali kegiatan kesenian mereka 22-23 Mei 2007. Di sana budayawan Harry Ong mencontohkan apa yang telah ditempuh warga Nitiprayan – hingga dusun mereka kini populer dengan sebutan “kampung seni”. Antropolog Lono Simatupang dan seniman ketoprak Bondan Nusantara turut tampil sebagai pembicara dalam workshop ini. Workshop dimeriahkan mocopatan acapela Mataraman yang inovatif dan sangat menghibur.

Malam menjelang peringatan satu tahun Gempa 27 Mei Didik didampingi asistennya Andika Vitrian Nugroho hadir di Lapangan Pundong, Bantul. Dengan handycam Didik merekam berbagai kesenian yang tampil di panggung. Salah satu pertunjukan paling menarik adalah kesenian srandul dari Dusun Klisat.

Srandul berusia lebih tua dari ketoprak dan kini makin langka. Hampir seperti wayang orang munculnya setiap tokoh di panggung didahului dan disertai tembang.

Sayang kelompok seni srandul ini tampil saat malam kian larut. Warga yang memenuhi lapangan tak sanggup lagi menahan kantuk. Tapi mereka yang berada di panggung tidak terlihat surut. Mereka tidak bergantung pada jumlah penonton, mereka tengah merayakan hidup mereka dengan seni.