Wednesday, May 23, 2007

MAN FOR OTHERS : Sketsa Mangun (1)


YB. Mangunwijaya dikenal sebagai arsitek, sastrawan, budayawan, pengajar, dan pastur. Lebih dari itu Mangun adalah pengabdi kemanusiaan. Sebagaimana diungkapkan budayawan Jaya Suprana dalam pre-interview dengan Orcafilms, “Romo Mangun adalah sosok cendekiawan, beliau seorang arsitek lulusan Jerman, tidak main-main, beliau seorang rohaniwan. Tapi di atas segala-galanya beliau seorang pengabdi kemanusiaan. Karya kemanusiaan ini yang paling saya kagumi.”

Perjuangan Mangun bersama dengan warga Kedungombo yang rumahnya digerus pembangunan waduk menjadi catatan penting sejarah bangsa ini. Suyatno Pr masih frater saat menyertai Romo Mangun melakukan pendampingan di sana, “Entah dari mana tenaga Romo Mangun itu, kita yang muda saja kalah kuat dengan beliau. Beliau orang yang sangat total. Taruhannya pada waktu itu adalah nyawa. Tapi Romo Mangun tetap tenang saja,” tutur Romo Yatno yang sekarang menjadi pengurus Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB)

Mudji Sutrisno SJ mengapresiasi Romo Mangun sebagai rohaniwan yang menghidupi iman Katolik dan imamatnya dengan aksi. Mangun adalah tipe pastor yang tidak hanya menjadi tukang misa tetapi terlibat dalam membahasakan cinta. Persis seperti yang dilakukan Yesus selama 30 tahun. Yesus sendiri melakukan perjalanan berliling menyampaikan kabar sukacita sekaligus melakukan aksi dengan peduli kepada orang miskin dan kaum terpinggirkan. Apa yang dilakukan Yesus inilah yang kemudian dilanjutkan Romo Mangun. Menyapa, peduli, berjuang, menyatu dengan kaum terpinggirkan, dan hidup bersama mereka.


Jurnalis Ignatius Hariyanto menyebut Mangun rohaniwan intelektual. “Pertama karena beliau adalah rohaniawan dan yang membedakan dia dengan rohaniwan lain adalah beliau memilih untuk terlibat dalam masyarakat,” ungkap Ignatius yang pernah menjadi editor antologi tulisan Mangun. “Ini adalah satu sosok yang menunjukkan satu sikap keintelektualan, di mana ilmu yang dia miliki tidak dipakai untuk dirinya sendiri.”

Karya arsitektural di Kali Code merupakan salah satu "monumen" Mangun. Bagaimana Romo Mangun membangun kawasan pemukiman warga pinggiran, tidak sebatas pada pembangunan fisik tapi sampai pada fase memanusiakan manusia. “Karya yang bisa kita lihat secara nyata adalah kawasan Kali Code. Bagaimana kaum miskin memperoleh suatu bentuk penataan yang sesuai dengan kebutuhan mereka,” kata Jaya Suprana.

Eko Prawoto, arsitek, murid sekaligus sahabat Romo Mangun memandangnya sebagai arsitek yang memposisikan tukang sebagai pencipta. Mangun lebih senang jika uang pembangunan diberikan pada tukang ketimbang diserahkan ke toko material. Jika melihat karya arsitektural Mangun material yang digunakan terbilang murah, keberadaan barang-barang bekas dimanfaatkan dan difungsikan sedemikian rupa hingga melahirkan estetika dan makna yang mendalam. “Tentunya menggunakan barang bekas dan material yang murah dibutuhkan waktu dan tenaga kerja yang lebih banyak, maka biaya pembangunan lebih banyak habis untuk ongkos tukang,” ujar Eko.

Sekolah di desa Mangunan, Kalasan, yang dirintis Mangun, menurut Romo Mudji, merupakan karya intelektual yang nyata. Intelektual yang melakukan penyebaran ide dan kritis. Intelektual yang tidak saja memiliki “laboratorium” tapi juga mewakili nurani bangsa.


Romo Mangun wafat saat SD Mangunan baru berjalan lima tahun. Tinggal empat tahun lagi untuk melihat hasil dari kurikulum pendidikan dasar 9 tahun yang dirancang sekaligus diaplikasikan sendiri oleh Romo Mangun. Barangkali inilah tugas kita. Sebagaimana Yesus meninggalkan Petrus dan rekan-rekan lainnya untuk melanjutkan karya mereka bersama.

Ambara Muji Prakosa