Wednesday, May 30, 2007

Menciptakan Masa Depan Anak Penyandang Autis


Pagi itu saya bersama cameraman Ade Gunawan memenuhi kepercayaan Yayasan Masyarakat Peduli Autis Indonesia (Mpati) untuk turut mendukung anak-anak penyandang autis mencapai masa depan mereka.

Pemahaman saya mengenai autis sebenarnya hanya di permukaan namun saat seorang ibu yang tengah menyampaikan pertanyaan tiba-tiba menangis, kami tersadar bahwa autisme adalah hal kompleks. Sang Ibu sesenggukan mengungkapkan kegalauannya menghadapi autisme yang diderita putranya tercinta. Gayatri Pamoedji mendekat, menggenggam tangannya, dan membesarkan hatinya.

Gayatri Pamoedji, Ketua Yayasan Mpati, merupakan seorang ibu yang memiliki anak penyandang autis. Dalam Seminar “Mengasuh dan Mendidik Anak Penyandang Autis” yang diselenggarakan di RS PKU Muhammadiyah Surakarta 26 Mei 2007 Gayatri tidak saja menjadi pembicara utama namun juga menjadi sahabat bagi orangtua dan anak yang sehari-hari hidup bersama autis.

“Saat ini ada lebih dari limaratus ribu anak autis di Indonesia,” papar Gayatri. “Itu yang terdeteksi. Jadi jumlahnya pasti lebih dari itu.” Namun menghadapi pandangan yang menyatakan “dari hasil penelitian anak autis tidak bisa sembuh” Gayarti terus menyemangati sekitar 250 peserta seminar yang mayoritas adalah para orangtua anak penyandang autis, pendidik, dan kalangan medis.

“Pertama kali saya tahu anak saya autis, mau bunuhdiri rasanya,” ungkap Hermin Ernawati. “Saya tidak terima.”

Autisme merupakan gangguan perkembangan pada anak yang dipicu disfungsi susunan otak. Meskipun faktor genetik, keracunan logam berat, polusi, serta komplikasi sebelum dan paska-melahirkan disebut memiliki andil terjadinya autisme, menurut Tri Budi Santoso, seorang terapis, penyebab utama gangguan ini masih terus diteliti hingga kini.

Penyandang autis lahir dalam kondisi normal. Namun dalam perkembangannya ia tidak memiliki kebiasaan normal yang dimiliki anak lainnya. Tidak bereaksi jika dipanggil, tidak mampu melepaskan emosi dengan baik, sulit berkomunikasi, tidak tertarik interaksi sosial, dan seolah hidup di dunianya sendiri. Lazimnya anak penyandang autis memperlihatkan gejalanya sebelum mencapai usia tiga tahun.

Anak penyandang autis biasanya memiliki ciri hiperaktif. Senang berputar-putar dan bersuara tapi tidak berbahasa. Kesulitan komunikasi inilah yang menjadikan orangtua sering putus asa. Mereka tidak memahami apa yang diinginkan anaknya, tidak mengetahui apa yang dirasakan, apalagi mengatasinya.

Tapi pada orangtuanya anak-anak penyandang autis menyandarkan harapan. Sebagaimana dikatakan Hermin kemudian, “Tanggung jawab terbesar terutama dari orangtua. Apalagi ibu.”

Meskipun begitu kita semua selalu berada di tengah mereka dan akan tetap mendampingi mereka.

Adrianus Dian Susanto