Monday, June 18, 2007

Bermalam Minggu di Klisat

oleh Dwi Fitria Sari


Malam Minggu 16 Juni 2007 adalah penugasan pertama saya sebagai personel OrcaFilms. Sejatinya hanya Didik Wirawan dan saya yang berangkat ke Klisat untuk menyaksikan sekaligus observasi latihan kesenian srandul di sana. Tapi beberapa personel lain yang baru saja menyelesaikan meeting di headquarter memutuskan ikut. Andika Vitrian Nugroho tengah ”alone” karena pacarnya sakit, tapi Ade Gunawan dan Adam Herdanto memang tidak punya kekasih untuk melewatkan malam panjang bersama.

Mobil yang dikemudikan Didik melewati wilayah Canden – di mana November 2006 silam OrcaFilms bersama SAV. Puskat memproduksi film dokumenter Unicef No Lost Childhood. Sayang saya tidak sempat singgah dan berkenalan dengan Ahmad serta Isnani – dua tokoh utama film tersebut – karena Didik ingin tiba di Klisat sebelum latihan dimulai. Tapi di sela lagu-lagu romantis yang diputar Didik (dan kontras dengan atmosfer mobil kami yang hiruk-pikuk) Andi beberapa kali melepas kenangan terhadap anak-anak Canden dengan menirukan ”statement” mereka di film: ”Main badminton karo Ahmad, boneka-bonekaan karo Nani ...”

Lebih dari separoh perjalanan kami menerobos kegelapan dan jalanan batu yang sunyi. Perasaan gamang saat menempuhnya seolah disempurnakan reruntuhan akibat gempa 27 Mei 2006 yang samar-samar terlihat dari jendela mobil. Klisat juga gelap dan sunyi. Sebagian rumah yang rusak berat belum diperbaiki, sebagaian lainnya telah menjelma bangunan baru dengan material sederhana. Saya telah melihat rekaman Didik saat ”meliput” pementasan srandul oleh warga Klisat dalam peringatan setahun gempa di Lapangan Pundong, tapi mendekati tempat latihan mereka tidak terdengar tetabuhan para wiyogo.

Didik tidak mampu menyembunyikan kekecewaan begitu Pak Sabar, salah seorang tokoh pelestari srandul, menginformasikan latihan digeser ke hari Minggu. Didik sempat menyampaikan ”protes” karena sorenya sudah menelepon dan memperoleh konfirmasi dari pemuda setempat bahwa latihan akan dilaksanakan malam ini. Namun Ade dan Adam terlihat tenang dan malah senyum-senyum.

Pak Sabar antusias menyambut keinginan Adam mengobrol segala hal mengenai srandul. Ade tanpa dikomando mengeluarkan handycam, Andi mendirikan tripod, dan garis wajah Didik berubah sumringah. Saat kami mempersiapkan diri, juga menata setting agar Pak Sabar menempati posisi di bawah neon, Adam menyusup keluar. Berbincang dan merokok bersama para bapak dan pemuda yang thethek di pelataran. Ia merintis keakraban agar obrolan nanti berlangsung cair, tidak terasa sebagai interview.

Kami berlima tidak ada yang mampu berbahasa kromo secara benar tapi kejujuran kami malah menghangatkan suasana. Yang jelas saya tidak mungkin menjalankan assignment untuk mewawancarai mereka dengan sempurna karena pengetahuan bahasa Jawa yang secuil-cuil. Di sisi lain Pak Sabar dan rekan-rekannya lebih ekspresif dan lugas dengan bahasa Jawa.



Di ruang tamu dengan struktur ”bata ekspos” di sebagian dindingnya Bu Sabar menggelar tikar. Saya duduk di sisi Adam yang mengendalikan dialog dengan bahasa Jawa akrobatik. Saya berusaha mencatat secara eksak dan cepat, Ade merekam dari berbagai sudut, Andi memotret, sementara Didik mengarahkan variasi penempatan kedua camera. Suasananya gayeng. Pak Sabar ditemani Mujiran, Ngadiman, Paryono, dan Samiyo. Mereka bicara dengan rileks, bersemangat, penuh tawa, saling menimpali, tapi deskriptif dan sabar.

Srandul rupanya bukan ”moyangnya” seni ketoprak meskipun memiliki dramaturgi serupa. Srandul bersumber Babad Menak yang berasal dari wilayah Timur Tengah. Itu sebabnya kostum para aktor srandul (disebut ”wayang”) semestinya menyerupai busana Aladin dalam Kisah 1001 Malam, lengkap dengan sepatu lancipnya. Soal kostum ini mewakili berbagai persoalan seni srandul di Klisat: mereka tidak memiliki koleksi kostum sehingga pengadaannya sekedarnya, sepunyanya; alat musik seperti angklung dirusak gempa hingga suaranya berubah dan tidak layak lagi, dan sejumlah seniman srandul memilih menekuni campursari yang lebih laku. Bahkan saat pentas di Pundong Pak Sabar mendatangkan pemain ketoprak dari luar Klisat untuk mengisi dua karakter utama dengan pengganti ”uang transport” yang diambil dari dompetnya sendiri.



Satu hal yang luar biasa, uraian kendala itu sama sekali tidak diungkapkan dengan wajah muram. Saya rasa spirit kolektif dalam kesenian tradisional menjadi landasannya. Sebelum tampil di panggung Pundong Mei silam srandul dipentaskan terakhir kali tahun 1975. Sudah lebih dari tigapuluh tahun tapi mereka tidak terlihat berjarak. Masing-masing tetap fasih melantunkan syair dan menceritakan kepada kami kisah demi kisah yang dimiliki srandul, seperti epik Kerajaan Puserbumi, Kraton Medayin, dan Kraton Ngayapan.

Dalam pementasan di Pundong ditampilkan kisah cinta Kadarwati dan Imam Suwongso. Putri Kadarwati dari Kraton Medayin dijodohkan dengan Pangeran Herman, putra mahkota Ngayapan. Tapi Kadarwati malah jatuh cinta pada Imam Suwongso dari Puserbumi. Menolak pinangan Herman dan mendamba Imam Suwongso memicu situasi pelik. Ketiga kerajaan yang ampuh itu harus saling berbenturan, Imam sampai diusir dari kraton, dan Kadarwati sendiri jadi sakit mental.

Kisah tidak mandeg di situ. Srandul memberikan perhatian pada ”hal-hal kecil”. Seperti fragmen pertemuan Imam Suwongso dengan pencari ikan yang tidak ada kaitannya dengan pengembangan plot. Srandul juga memunculkan sequence ”punakawan” sebagaimana di wayang. Di tengah kisah ditampilkan tokoh jenaka seperti Gareng-Petruk. Fungsinya tidak sekedar untuk penyegaran tapi juga refleksi.

Lakon srandul diarahkan oleh seorang sutradara yang disebut dalang. Dalang srandul sekarang adalah Josuwito. Sayang kami belum sempat bertemu karena beliau tengah berada di luar dusun. Josuwito menjadi dalang karena ayahnya juga dalang srandul. Kini Paryono, putra Josuwito, telah diplot menjadi dalang berikutnya, kelak setelah ayahnya tiada. Sejumlah posisi dalam kesenian srandul memang diwariskan secara turun-temurun.

Srandul mengandung tari-tarian, musik dan nyayian, serta pembagian peran dan sequence yang baku. Itu sebabnya kebutuhan personel dalam satu pementasan srandul bisa lebih dari tigapuluh orang. Di awal pementasan para pelakon (wayang) tampil satu per satu ke panggung dengan menari. Ini sequence yang disebut dapukan. Disusul kemudian dengan sequence giyar-giyar, simak ramak gagah, simak ramah semarangan, yongka-yongki, dan mendung-mendung. Hmm suatu perjalanan panjang sebelum tiba di cerita utama. Giyar-giyar misalnya ditarikan oleh seorang penari wanita dengan sesaji, bakaran dupa, serta oncor, sebagai representasi turunnya bidadari dari kahyangan. Ini ritual untuk memohon keselamatan. Saking panjangnya tahapan-tahapan dalam srandul pementasannya bisa berlangsung hingga fajar menjelang.



Suasana di rumah Pak Sabar yang juga dijadikan panggung dalam latihan semakin gegap-gempita ketika mereka membunyikan piranti-piranti musik sembari melantunkan syair. Pak Sabar dan rekan-rekannya memainkan kendang, kenthongan, sampai angklung yang sudah fals itu dalam orkestrasi sederhana tapi sungguh exciting untuk diikuti! Heri personel termuda, termodis, dan ber-handphone tercanggih yang mengenal srandul saat balita masih agak canggung menyesuaikan pukulan kenthongan tapi ia sudah berkomitmen akan tampil total dalam pentas tujuhbelasan Agustus nanti.



Wah pengenalan langsung seperti ini jauh lebih bermakna ketimbang browsing soal srandul melalui internet! Yang lebih menyenangkan, tidak ada interupsi dering telepon, tidak seorangpun dari kami menggenggam handphone dan memikirkan hal lain.

Sungguh ini malam Minggu yang menyenangkan dan mengesankan. Saat kami bertanya mengenai akibat gempa, para bapak dan mas-mas yang sehari-hari bekerja sebagai tukang kayu, tukang batu, tukang keramik, dan sopir truk ini menuturkannya dengan ”enteng”, dengan pancaran optimisme yang timbul dari refleksi mendalam. Mereka sungguh-sungguh berbagi dan kami benar-benar belajar mengapresiasi.

Ilustrasi – foto-foto Andika Vitrian Nugroho