Saturday, June 16, 2007

Satu Langkah Untuk Selamanya


Gempa 27 Mei 2006 menghancurkan kehidupan warga Bantul. Tingkat kerusakan di Dusun Warungpring, Kecamatan Bambanglipuro, yang mencapai 98% dari keseluruhan pemukiman menjadikan seni jathilan dan mocopatan yang selama ini hidup di tengah warga seolah turut lenyap dari bumi. Semangat warga dan piranti kesenian mereka sama-sama hancur. Bantuan mengalir ke penjuru Bantul tapi tidak menyentuh elemen kesenian yang justru potensial menjadi penyeimbang.

Sukempi, ketua pemuda Warungpring yang telah bermain ketoprak lokal sejak usia belia, menyaksikan jathilan dan ketoprak sudah menjadi bagian dari kehidupan warga dusunnya dari jaman simbah-simbahnya. Warga Warungpring yang sebagian besar bekerja sebagai petani dan pedagang ini tahun 1960-an mengembangkan seni mocopat, kemudian seni karawitan serta tari.


Gempa melumpuhkan aktivitas warga. Termasuk kesenian. Sampai piranti karawitan dilego untuk menambah pembiayaan pembangunan rumah. Padahal piranti itulah yang selama ini menjadi andalan warga dalam berkesenian. Sementara satu set peralatan karawitan hasil pilkades kualitasnya tidak cukup baik.

Tapi Didik Wirawan yang dalam observasi lanjutan ke Warungpring didampingi Ambara Muji Prakosa, salah seorang writer/director OrcaFilms, melihat akar berkesenian memainkan peranan utama kebangkitan mereka. Setelah mengalami masa-masa sulit paska-gempa kaum muda Warungpring justru bergairah mempelajari dan memainkan seni reog. Kaum sepuh dusun pun memberikan dukungan.



Dalam pertemuan warga 4 Juni 2007 memang tidak terlihat “gap” antar-generasi. Tidak ada kesan feodal. Diskusi mengenai rencana pengembangan dan pementasan seni reog berlangsung cair. Mereka telah menampilkan jathilan di panggung rakyat Pundong dalam peringatan satu tahun gempa namun kali ini antusias membahas reog yang justru belum dikuasai.

Minggu 10 Juni warga Warungpring mulai berlatih di lapangan volley. Yayasan Cemeti yang memiliki atensi khusus dalam mendorong terwujudnya kembali lingkungan berkesenian warga Bantul mengirimkan seorang lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) sebagai pendamping.


Pemahaman dan gerakan yang dilakukan masih terlihat lugu tapi antusiasme mereka tidak pudar. Dari 12 orang penari jumlahnya bertambah menjadi tigapuluh. Anak-anak yang mengelilingi lapangan memberikan semangat. Suraji, warga dari dusun tetangga yang berpengalaman memainkan reog, turut membantu. Kadangkala langkah kaki dan gerakan tangan mereka tidak beraturan karena tetabuhan yang mengiringi terlalu keras dan ketukannya belum teratur. Saat diusulkan belajar gerakan dulu tanpa musik mereka menolak karena merasa aneh menari tanpa iringan. Didik yang hadir bersama Miranda Putri merasakan dinamika yang menggairahkan.



Warga Warungpring berniat menyelenggarakan kirab budaya saat tujuhbelasan nanti. Seluruh warga akan terlibat dan setiap RT akan menampilkan kesenian. Mereka tidak ingin selalu menjadi penonton melainkan turut berkesenian dan diapresiasi. Jika semua tampil lalu siapa yang menonton?

“Penduduk desa lain,” sahut Sukempi optimis.

Yok / Red.