Wednesday, June 6, 2007

Exploring Bantul


Terik matahari mulai memudar tapi Didik Wirawan malah “salah alamat” saat melanjutkan observasi kesenian tradisional di Bantul. Seharusnya ia mendarat di Dusun Klisat tapi keliru koordinat sehingga meleset ke dusun tetangga yang bersebelahan. Didik memang menemukan kantong seni di dusun itu tapi paguyuban seni gejog lesung yang beberapa tahun lalu memperoleh pendampingan dari Didik Nini Thowok dan pernah dikunjungi Emil Salim ini tidak termasuk dalam daftar yang dirilis Tim Cemeti – partner LP3Y/Ford Foundation di bidang kesenian.


Meski demikian obrolan dengan Bagong Puswanto, salah satu pilar lestarinya seni lesung, membantu Didik memetakan perkembangan akar kesenian tradisional di wilayah Bantul. Dusun Nangsri misalnya, identik dengan seni lesung. Bersama seluruh elemen dusun Bagong mengembangkannya dengan menambahkan ensambel tarian yang dilakukan para wanita dan mengimbuhkan gerakan-gerakan menyerupai senam yang menurutnya bermanfaat untuk ibu hamil. Sementara tetangga sebelah, Dusun Klisat, melestarikan seni srandul yang konon merupakan moyangnya ketoprak.

Usai mengupas seni lesung Didik memutuskan untuk tidak menyeberang ke Klisat tapi mengeksplor wilayah lain yang memang belum disentuhnya. Ia bergerak menuju Dusun Warungpring di Kecamatan Bambanglipuro. Sore itu mobilnya menjadi sangat kumuh, kertas-kertas dari peta sampai bundel data berserakan di dashboard, jok, sampai karpet kabin tengah. Didik berusaha melakukan “penebusan” dengan bertindak taktis setelah sehari sebelumnya membiarkan risetnya berlangsung secara bertele-tele, tidak terarah, dan tidak komprehensif. Itu sebabnya ia melepas Klisat karena di daftar resmi tertulis seni klothekan, bukan srandul, tapi warga setempat malah berkerut-kerut dahinya ketika ditanya mengenai klothekan.

Dengan solar di tanki yang kian menipis, garis wajah menegang, tegukan teh botolan dan hisapan rokok tak berkesudahan Didik tiba di Warungpring tanpa kesasar. Hanya sempat celingak-celinguk mencari arah yang tepat di pertigaan dusun yang dibatasi area pemakaman. Warga Dusun Warungpring secara turun-temurun terbiasa memainkan jathilan, ketoprak, dan mocopatan. Namun melihat kondisi dusun di mana kerusakan berat akibat gempa 27 Mei 2006 mencapai 98% timbul pertanyaan mendasar, apakah mereka masih sanggup berkesenian?

Sayang sore itu Didik gagal bertemu Sukempi, ketua pemuda yang juga pemain ketoprak dan salah satu penggerak kesenian tradisional Warungpring. Didik sempat mengobrol dengan beberapa warga, sembari membuat appointment untuk kembali lagi esok, dan mengamati aktivitas sosial-ekonomi yang denyutnya sudah terasa. Dari sini Didik optimis kesenian tidak mati di dusun ini meskipun menurut seorang warga mereka melego satu set piranti karawitan untuk membantu pembiayaan pembangunan kembali pemukiman yang rusak parah.

Cahaya matahari mulai kekuningan. Didik melesat ke Kadisoro, Kecamatan Pandak. Beranjak dari Warungpring ke Kadisoro rasanya seperti membelah bumi. Waktu kian mepet, Didik menargetkan observasi tuntas sebelum maghrib tapi sejauh ini hasil yang dicapai belum memadai. Didik menuju wilayah yang belum dikenalnya tapi jalur yang ditempuhnya cukup efektif. Hanya saja hal ini tidak begitu saja melepaskan ketegangannya.

Saat mobil terhenti di persimpangan di tengah sawah dan Didik tidak bisa memastikan jalan mana yang tepat, Co-Researcher yang mendampinginya mengatakan, “Ke kiri.”
“Kok iso?”
“Seni gitar ada di daftar Cemeti nggak?”
“Ya nggak!”
“Ooh kalau ada pasti ke kiri.”
Si rekan menunjuk seorang pemuda gimbal yang tengah memainkan gitar di tepian sawah.
Senang rasanya melihat Didik tertawa.

Warga Dusun Kadisoro selama ini mengekspresikan keguyuban mereka melalui kegiatan seni, seperti reog dan wayang. Reog bahkan dimainkan oleh anak-anak dan para sepuh yang telah bercucu. Sebagaimana dialami wilayah lain di Bantul gempa menghacurkan rumah, lahan, juga properti kesenian mereka.



Warga menyarankan Didik menemui Gunardo. Nama ini juga tercantum di daftar Cemeti. Ini sekaligus merupakan konfirmasi bahwa person tersebut memang tokoh seni di tengah warga, bukan “pejabat yang ditunjuk”. Gunardo, seorang sesepuh Kadisoro, adalah pensiunan militer yang turut berperan merebut Irian dari tangan Belanda tapi kesenian menjadi bagian penting dalam hidupnya. Ia seniman serbabisa, dalang sekaligus pemain ketoprak dan artis keroncong. Putri sulungnya Sri Maryati menyelesaikan sekolah dengan beasiswa yang diperolehnya setelah menjadi juara tari bedoyo, Asih putri kedua kini dikenal sebagai penyanyi dangdut yang kerap tampil di layar tv lokal, dan si bungsu Tejo adalah seniman ukir dan penggiat kegiatan seni kalangan muda Dusun Kadisoro. Saat Didik mengobrol dengan Gunardo, Ningrum cucu Pak Gun tiba-tiba “terkapar” di depan tv, ia kelelahan usai pentas bersama kelompok drumband sekolahnya. Kehidupan seni yang tumbuh secara turun-menurun di tengah Keluarga Gunardo menjadi pondasi bagi warga Kadisoro untuk tidak menyerah menghadapi keadaan serba sulit melalui kesenian.

Matahari makin jingga. Malam Minggu yang lonely bagi Didik mulai membayangi. Tapi “storyline” dokumenter yang akan dibuatnya sudah tersusun di kepala. Saat keluar dari toilet pom bensin Didik tersenyum-senyum sendiri. Mungkin karena optimis dengan filmnya nanti. Mungkin karena tidak punya pacar dan dompetnya tipis.

Red.