Romo Mangun seseorang yang bisa setiap saat bergerak ke mana saja, termasuk ke Grigak yang terpencil. Kendaraan utama Mangun bukan jeep tapi hati nurani. Grigak? Saya tidak akan heran jika ada teman yang mengatakan, “Dengar namanya aja udah males.” Saya sendiri sudah lama mendengar Romo Mangun berkarya di Grigak tapi hingga saat ini saya tidak tahu di mana letak tempat itu, meskipun saya dan Grigak berada di wilayah provinsi yang sama. Well, saya tidak berani mengkaitkan hal ini dengan hati nurani ...
Grigak adalah kawasan pantai di balik perbukitan Gunungkidul yang gersang. Air menjadi persoalan serius di sana. Untuk mengambil air bersih warga harus berjalan kaki berkilo-kilometer menuju mata air dan membawanya pulang dalam pikulan. Menempuh jalan panjang yang sama, dengan daya yang mulai susut tapi beban makin berat.
Air tidak pernah menjadi masalah saya. Tinggal memutar kran, air tumpah berlimpah-ruah. Kadangkala warnanya coklat seperti kopi instan tapi toh tinggal membuntel bibir kran dengan saputangan atau bekas kaos kaki. Bukan masalah. Tidak perlu dianggap masalah. Juga saat saya lalai menutup kran dan air meluber-luber tak berguna. Tagihan bulanan juga tak seberapa. Rekening air tidak pernah sememusingkan tagihan telepon.
Saya bayangkan jika saya berada di posisi Mangun saat seorang pelajar yang tengah PKL di Code bercerita mengenai orangtuanya yang tinggal di Grigak. Ia menuturkan keadaan alam Grigak yang keras, kering, air asin seluas samudera tapi sumber air untuk kebutuhan sehari-hari hanya terdapat di mata air yang letaknya jauh dari pemukiman. Mendengar itu semua rasanya saya hanya akan membatin, “That’s life,” dan mengatakan padanya, “Yo dilakoni.”
Saya punya banyak waktu, saya muda dan enerjik, wawasan saya luas, saya lama tinggal di Gunung Ketur tapi cita-cita saya setinggi Semeru, dan sekurang-kurangnya saya butuh empatpuluh tahun lagi untuk menumbuhkan janggut perak seperti Mangun. Jika Mangun mulai memikirkan sistem pengaliran air yang mudah diakses masyarakat Grigak, saya paling memikirkan tulisan tentang eksotisme Grigak di blog. Bagi Mangun air bersih berperan mengangkat kualitas kehidupan manusia, bagi saya apa yang saya baca, lihat, dan kemudian dituliskan akan membuat saya dianggap pintar. Mangun memikirkan orang lain, saya memikirkan orang lain agar memikirkan saya.
Ah tapi jelek-jelek begini saya tidak seperti seorang teman mahasiswa yang jurnalis, aktivis, ilmuwan sosial, dan pekerja kemanusiaan yang konon kabarnya kritis dan peka karena gemar membolak-balik halaman demi halaman buku Sartre, Camus, Pierre Bourdieu, Jurgen Habermas, Roland Barthes, dan Ivan Illich, tapi tidak tahu siapa YB. Mangunwijaya. “Siapa itu Romo Mangun?” tanyanya.
Saya berbuih-buih menjawabnya.
“Apa menariknya Romo Mangun itu?”
Saya berbuih lagi dengan urat dahi menegang.
“Dosen dan teman-teman saya di kampus tidak ada yang pernah membicarakan Romo Mangun.”
Kini rahang saya mengeras.
Mangun tiba di Grigak. Tidak sekedar mengenal, Mangun tinggal di sana. Didirikannya gubuk bambu di tengah hutan. Diolahnya sumber air yang mudah dijangkau warga. Diciptakannya sejumlah karya sastra dan esai dalam keheningan.
Dalam perjalanan dari Jogja ke Grigak Mangun melemparkan biji tanaman dan benih pohon apa saja. Soal lempar-melempar biji ini juga menjadi syarat bagi siapapun yang akan berkunjung atau menemui Mangun di sana. Menjadi “tiket masuk” kawasan Grigak. Wilayah garing itu menjadi hijau.
Grigak adalah kawasan pantai di balik perbukitan Gunungkidul yang gersang. Air menjadi persoalan serius di sana. Untuk mengambil air bersih warga harus berjalan kaki berkilo-kilometer menuju mata air dan membawanya pulang dalam pikulan. Menempuh jalan panjang yang sama, dengan daya yang mulai susut tapi beban makin berat.
Air tidak pernah menjadi masalah saya. Tinggal memutar kran, air tumpah berlimpah-ruah. Kadangkala warnanya coklat seperti kopi instan tapi toh tinggal membuntel bibir kran dengan saputangan atau bekas kaos kaki. Bukan masalah. Tidak perlu dianggap masalah. Juga saat saya lalai menutup kran dan air meluber-luber tak berguna. Tagihan bulanan juga tak seberapa. Rekening air tidak pernah sememusingkan tagihan telepon.
Saya bayangkan jika saya berada di posisi Mangun saat seorang pelajar yang tengah PKL di Code bercerita mengenai orangtuanya yang tinggal di Grigak. Ia menuturkan keadaan alam Grigak yang keras, kering, air asin seluas samudera tapi sumber air untuk kebutuhan sehari-hari hanya terdapat di mata air yang letaknya jauh dari pemukiman. Mendengar itu semua rasanya saya hanya akan membatin, “That’s life,” dan mengatakan padanya, “Yo dilakoni.”
Saya punya banyak waktu, saya muda dan enerjik, wawasan saya luas, saya lama tinggal di Gunung Ketur tapi cita-cita saya setinggi Semeru, dan sekurang-kurangnya saya butuh empatpuluh tahun lagi untuk menumbuhkan janggut perak seperti Mangun. Jika Mangun mulai memikirkan sistem pengaliran air yang mudah diakses masyarakat Grigak, saya paling memikirkan tulisan tentang eksotisme Grigak di blog. Bagi Mangun air bersih berperan mengangkat kualitas kehidupan manusia, bagi saya apa yang saya baca, lihat, dan kemudian dituliskan akan membuat saya dianggap pintar. Mangun memikirkan orang lain, saya memikirkan orang lain agar memikirkan saya.
Ah tapi jelek-jelek begini saya tidak seperti seorang teman mahasiswa yang jurnalis, aktivis, ilmuwan sosial, dan pekerja kemanusiaan yang konon kabarnya kritis dan peka karena gemar membolak-balik halaman demi halaman buku Sartre, Camus, Pierre Bourdieu, Jurgen Habermas, Roland Barthes, dan Ivan Illich, tapi tidak tahu siapa YB. Mangunwijaya. “Siapa itu Romo Mangun?” tanyanya.
Saya berbuih-buih menjawabnya.
“Apa menariknya Romo Mangun itu?”
Saya berbuih lagi dengan urat dahi menegang.
“Dosen dan teman-teman saya di kampus tidak ada yang pernah membicarakan Romo Mangun.”
Kini rahang saya mengeras.
Mangun tiba di Grigak. Tidak sekedar mengenal, Mangun tinggal di sana. Didirikannya gubuk bambu di tengah hutan. Diolahnya sumber air yang mudah dijangkau warga. Diciptakannya sejumlah karya sastra dan esai dalam keheningan.
Dalam perjalanan dari Jogja ke Grigak Mangun melemparkan biji tanaman dan benih pohon apa saja. Soal lempar-melempar biji ini juga menjadi syarat bagi siapapun yang akan berkunjung atau menemui Mangun di sana. Menjadi “tiket masuk” kawasan Grigak. Wilayah garing itu menjadi hijau.
Saya bersama Theo Christanto dan Miranda Putri secara khusus mendiskusikan Grigak dengan Eko Prawoto, sahabat Mangun. Grigak adalah karya besar Mangun yang bahkan belum pernah disentuh Eko, arsitek yang dianggap sebagai anak sendiri oleh Mangun. Kami dan Pak Eko pasti akan ke sana. Kami memperoleh “ancer-ancer” dari Theresia Koeswardini, mantan sekretaris pribadi Mangun. Saya, Theo, Suryo Wibowo, Dwi Fitria Sari, Ade Gunawan, Benedictus Kristiawan, Adam Herdanto, dan Miranda Putri mulai merembug rencana ke Grigak.
Timbul antusiasme dan kegairahan. Menjelang berangkat Rabu 20 Juni kami persiapkan segalanya. Tapi tiba-tiba muncul pertanyaan dalam batin saat menatap motor kami, kendaraan kami nanti, yang suaranya lebih gagah dari geraknya. Man For Others bukan perkara pendokumentasian tapi soal bagaimana menjadi seperti itu. Dan Grigak adalah salah satu masterpiece Mangunwijaya yang tidak membutuhkan tepuk tangan.
Ambara Muji Prakosa
Ilustrasi – Puspa Perwitasari / Widyo Utomo & Ambara Muji P.
Timbul antusiasme dan kegairahan. Menjelang berangkat Rabu 20 Juni kami persiapkan segalanya. Tapi tiba-tiba muncul pertanyaan dalam batin saat menatap motor kami, kendaraan kami nanti, yang suaranya lebih gagah dari geraknya. Man For Others bukan perkara pendokumentasian tapi soal bagaimana menjadi seperti itu. Dan Grigak adalah salah satu masterpiece Mangunwijaya yang tidak membutuhkan tepuk tangan.
Ambara Muji Prakosa
Ilustrasi – Puspa Perwitasari / Widyo Utomo & Ambara Muji P.